Hujan dan Kenangan

Kaia Sari
Chapter #18

Temu

"Lukisan ini bedasarkan kisah nyata, tragedi berdarah pada tahun 1803."

Prasasti tampak bersemangat menjelaskan lukisan bersejarah pada Ayra tetapi Ayra tampak tidak tertarik, lebih tepatnya pikirannya melayang entah kemana. Ayra bejalan mengikuti Prasasti dan sekerumunan orang lainnya, melihat dan mengamati lukisan-lukisan keren yang terpampang di dinding. 

"Kenapa aku merasa sepi ya padahal di sini ramai orang," batin Ayra mengikuti derap kaki yang sudah menjauh, menyusul Prasasti yang sudah berada jauh beberapa meter di depannya. 

"Kamu dari mana Mai?" tanya Prasasti setelah Ayra berhasil menyusulnya, mengatur napasnya yang tidak beraturan. 

"Gak habis dari mana-mana. Aku habis liat lukisan yang tadi, jadi aku lihat-lihat lagi di sana, makanya lama," terang Ayra berbohong. 

"Oke. Aku harap kamu senang dan menikmatinya karena percuma jika hanya aku yang bersemangat sedangkan kamu tidak," cetus Prasasti disambut anggukan dari Ayra. 

Ayra dan Prasasti melanjutkan perjalanan mereka lagi berserta pada pengunjung yang lain, mengikuti pemandu yang menjelaskan lukisan-lukisan apik yang terpampang di dinding. 

"Maira, kamu bosan ya?" tanya Prasasti lagi yang membuyarkan lamunan Ayra. 

"Enggak kok, siapa bilang aku bosan?"

"Kamu memang tidak bilang tapi sikap kamu menunjukkan dengan jelas. Apa sebaiknya kita pulang saja? Aku merasa gak enak samamu karena telah mengajak ke tempat yang membosankan."

"Sebenarnya pameran lukisan gak pernah membosankan cuma hari ini aku lagi gak mood padahal sebelum pergi aku biasa aja. Pulang gak papa nih? Kau gak marah kan Prasasti?" 

"Gak kok, yaudah kita pulang," seru Prasasti berjalan menuju parkiran yang diikuti Ayra. 

Prasasti melajukan motornya dengan kecepatan sedang, Ayra yang duduk di bangku penumpang hanya diam tanpa kata. Prasasti memarkirkan motornya di sebuah cafe. 

"Prasa, kenapa ke cafe?" tanya Ayra menaikkan sebelah alisnya.

"Makan dulu yuk, aku lapar," singkat Prasasti memasuki cafe tersebut yang diikuti Ayra. 

Prasasti memilih tempat duduk yang cukup strategis, tidak terlalu mencolok di depan ataupun terlalu di belakang. Meja bernomor 15 yang letaknya di samping jendela besar, cocok untuk melihat-lihat keluar jika tengah bosan, melihat banyak orang lalu-lalang. 

"Kamu pesan apa Mai?" tanya Prasasti yang tengah melihat buku menu. 

Lihat selengkapnya