"Kenapa kemari Kak? Ada hal penting yang harus di lakukan di sini?"
"Enggak. Ingin mampir aja karena di bukit ini aku pernah cerita tentang aku yang kebanyakan orang tidak tahu. Kamu masih ingat kan?"
"Iya, aku masih ingat kok. Di sini nih, kita duduk di bawah pohon terus kak El cerita," cetus Ayra duduk di tempat yang sama seperti beberapa waktu yang lalu.
"Ray, kamu pernah berpikir gak kalau suatu saat nanti entah kapan kita akan berpisah? Entah karena kita yang memutuskan hubungan atau karena takdir yang berbicara?"
Perkataan El sukses membuat kening Ayra berkerut. El membelakanginya, berdiri di ujung bukit.
"Maksudnya apa? Aku gak paham sama perkataan Kakak," cetus Ayra bangkit dari duduknya.
"Kamu sadar kan kalau manusia pasti akan mati. Kita gak tau umur kita sampai kapan? Bisa besok? Lusa? Tahun depan? Atau bahkan beberapa detik lagi."
"Iya aku tahu. Tapi kenapa kak El membicarakan hal itu?"
"Entah kenapa aku merasa kalau aku tidak akan bisa menemanimu sampai kamu menggapai semua mimpi-mimpimu. Beberapa tahun mendatang mungkin ada orang baru yang membuat kita memutuskan hubungan. Jika bisa memilih, aku lebih baik meninggalkanmu dalam keadaan aku yang dipanggil sang Maha Kuasa karena aku tidak akan rela jika kamu meninggalkanku demi orang lain."
"Kakak bicara apa sih? Kepala Kakak kebentur sewaktu berantem sama Prasasti? Lagian siapa juga yang mau memutuskan hubungan atau meninggalkan Kakak?" ungkap Ayra dengan tegas, kata-kata El benar-benar mengusik pendengarannya.
"Emang kata-kataku salah? Kita tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya."
"Jelas aku tahu akan hal itu! Tapi kenapa Kakak membicarakan hal itu sekarang setelah Kakak dengan yakinnya berbicara di depan orangtua kita, di depan Mak sama Abah kalau saat Kakak sukses nanti, Kakak mau melamarku. Itu maksudnya apa Kak? Jangan membuat aku jatuh menghantam tanah setelah Kakak bawa aku terbang jauh ke langit. Aku sangat senang saat Kakak berkata seperti itu di depan Mak sama Abah. Aku juga berharap kalau Kakak bukan hanya menjadi cinta pertamaku tapi sekaligus menjadi cinta terakhirku. Kakak paham gak sih?" ungkap Ayra dengan wajah merah padam. Tingkat kekesalannya telah mencapai ubun-ubun.
"Maaf jika aku membuatmu merasa seperti itu," cetus El menunduk merasa bersalah.
"Aku maafin, tapi Kakak harus janji gak boleh ngomong kaya gitu lagi! Gak boleh bicara soal kita putus hubungan atau soal kematian!" tegas Ayra menunjuk El.