Hujan dari Bumi

M Alakana
Chapter #2

Aku Kalah

Guru adalah segalanya.

Iya, bukan?

Dari gurulah, berbagai macam orang dengan pemikiran hebat lahir. Dari gurulah, berbagai macam cita terwujudkan.

Jika di rumah ada orang tua kita sebagai guru—yang mengajarkan adab. Maka para guru adalah orang tua yang mendidik kita saat berada di sekolah. Mereka bagai mentari, siap berbagi cahaya pada planet dan benda angkasa lainnya tanpa meminta timbal balik yang serupa. Mengajarkan banyak hal, sampai-sampai kita lupa menghitung seberapa besar jasanya.

Belum lagi jika mereka berhadapan dengan murid ‘banyak akal’, yang suka membantah perintah, jarang mengerjakan tugas, tidur di kelas, terlambat, dan sederet prestasi-prestasian lain.

Guru itu memang luar biasa. Sampai disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Pelita di kegelapan, betul itu.

Namun—

Jam kosong tetaplah surga dunia. Hehe.

Seperti siang ini, kelasku heboh bukan main. Jam kosong merajalela di kelas-kelas murid . Ada rapat dadakan untuk membahas sesuatu yang entah apa. Teman-teman bersorak. Satu-dua sampai tergelak kencang. Pasalnya, seharusnya detik ini kami ulangan Biologi. Kumpulan lelaki dengan kerah atas terbuka masih sibuk bercengkerama. Salah seorangnya duduk di atas meja. Mereka saling memamerkan catatan kecil yang disimpan di brankar keamanan menurut masing-masing: pulpen, sepatu, telapak tangan, bahkan sampai bola kertas yang seolah sampah tak berguna. Berbangga, padahal berdosa. Aku sendiri ikut tertawa saat satu dari mereka menunjuk kepalanya sendiri, tempat contekan teraman. Dia benar, sayangnya kebenarannya malah dinistakan. Disoraki oleh seisi kelas. Menjadi berbeda itu kenyataannya menyulitkan. Terlebih bagiku. Maka dari itu, menyingkir dari perhatian menjadikannya pilihan hidup yang tepat untuk kujalani tanpa repot-repot mengubah jati diri.  

“Daripada membuat kegaduhan,” Ketua Kelas menutup buku novelnya, “bagaimana kalau kita main TOD?”

“Ayo sih.”

Ketua Kelas mengedarkan pandangan, meminta pendapat. “Berani? Lumayan, kita jarang mengenal yang tidak akrab. Anggap saja ini ajang untuk mengakrabkan diri satu sama lain.”

Tidak ada sanggahan, itu artinya semua setuju. Raut mereka santai, meski satu-dua malu-malu dan atau sok jago. Tidak takut jika pertanyaan yang dilempar atau perintah yang dilontarkan nanti akan sulit untuk dipenuhi dengan alasan privasi. Ini artinya, hanya aku yang ketar-ketir. Kendati tidak ada hal spesial dan privasi yang kupunya, tetap saja instingku menolak keras permainan yang bahkan diikuti satu kelas.

“Oke, pemberani semua ternyata ya.” Ketua Kelas menggeser kursinya hingga depan, supaya dapat melihat semua anggotanya, pun sebaliknya. Kami mengikuti gerakannya, menggeser kursi masing-masing agar menghadap ke tengah.

“Cinka harus ikut, ya.” Aku sedikit tersentak saat dipanggil. Menelan ludah sebelum akhirnya mengangkat kedua alis sekejap sebagai jawaban. Jantungku sudah melompat-melompat, aku waswas akan pertanyaan nanti—jelas aku akan memilih Truth daripada Dare yang tidak-tidak.

“Anak baru ikut, Pak?” Kami menoleh ke arahmu, anak baru kemarin sore yang masih menggunakan seragam tanpa bedge sekolahan.

Kamu mengangguk tanpa ragu. Kelakuanmu itu mengundang tepukan tangan dan acungan jempol dari teman-teman. Anak lelaki itu berbeda, cenderung menyukai tantangan.

Lihat selengkapnya