HUJAN DEWI BATARI

Call Me W
Chapter #2

RADEN ADMAJA TERSUDUT

Raden Admaja melemparkan busur beserta anak panahnya ke pendopo. Sebelum akhirnya dia merebahkan diri di samping alat memanah kesayangannya dan memejamkan mata. Tubuhnya yang bertelanjang dada bermandikan keringat. Sedang napasnya naik turun tak beraturan karena kelelahan setelah beberapa saat lamanya berlatih.

“Nampaknya Raden terlalu memaksakan diri.”

Salah seorang pengawal setia Raden Admaja berujar. Kemudian meletakkan sekendi penuh air minum dan sehelai kain bersih yang dibawanya di pendopo. Tidak jauh dari tubuh si pemuda berbaring.

Raden Admaja tidak menggubris. Seakan tak mendengar dan tengah menikmati belaian lembut semilirnya angin.

Si pengawal yang sudah berumur itu tidak berkata-kata lagi. Karena takut bendoro-nya (majikan) marah atau merasa terganggu. Namun beliau belum beranjak dari sana. Beliau dengan sabar masih menanti perintah dari si pemuda bangsawan selanjutnya. Barangkali masih menginginkan sesuatu selain air minum dan sehelai kain bersih yang dipesannya tadi.

Secara diam-diam, pengawal bernama Darsa itu memperhatikan tubuh bertelanjang dada Raden Admaja yang telentang dengan mata terpejam. Pada saat itu pula, beliau teringat tentang berapa lamanya telah mengabdi pada keluarga kerajaan. Termasuk menjadi salah satu pengawal pribadi Raden Admaja. Mungkin sudah tigapuluh lima tahun lebih. Oleh karenanya, beliau sudah begitu paham akan tingkah laku atau perangai bendoro mudanya.

Seperti halnya mendiang Raden Jaya Wardhana, bendoronya terdahulu, Raden Admaja juga berwajah rupawan, berpostur tubuh tinggi, tegap, berhidung bangir (mancung) dan berkulit kuning langsat. Selain itu, Raden Admaja juga memiliki sepasang alis tebal yang nyaris menyatu, serta sorot mata teduh yang terkesan menenangkan seperti milik mendiang ibundanya, Raden Ayu Tunjung Wangi.

Sebenarnya, Raden Admaja bukanlah seseorang yang gampang marah, apalagi suka marah-marah. Dia adalah seorang pangeran yang baik, ramah, periang, dan penuh sopan santun, selayaknya priyayi (bangsawan) yang dididik secara baik. Akan tetapi, belakangan ini perangai Raden Admaja tampak berseberangan atau berbeda dari hari-hari yang telah lalu. Bendoro mudanya itu tampak sering berdiam diri seperti tengah memikirkan atau melamunkan sesuatu. Juga, tidak suka ditanya-tanya.

Sepanjang hari sejak melihat dan merasakan perubahan sikap dari sang pangeran, si abdi kerajaan hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, apakah gerangan yang tengah dipikirkan bendoroku?

"Ah, di sini kau rupanya!”

Si pengawal maupun Raden Admaja yang sedang tidur-tiduran, sama-sama dikejutkan oleh suara tersebut. Raden Admaja bergegas bangun dari tidur-tidurannya untuk menyambut kedatangan seseorang yang mengejutkan itu. Sementara Darsa menunduk hormat kepada tamu bendoronya dan mempersilahkannya duduk di pendopo.

“Bilik peristirahatanmu senantiasa menyenangkan, ya?” Seseorang itu berbasa-basi setelah duduk di pendopo dan menghirup udara siang yang berangin semilir.

Ialah Raden Jayasena, pamanda dari pemuda bangsawan itu. Yang masih menduduki singgasana sebagai raja sementara kerajaan Jayakarta.

“Ya, beginilah, Pamanda."

Raden Admaja berujar ringan. Berusaha menutupi rasa terganggunya. Padahal, pamannya sudah lama tidak berkunjung ke bilik peristirahatannya dan berbincang-bincang dengannya sejak hari itu. Hari di mana beliau mengatakan sesuatu yang membuat pemuda bangsawan sang ahli waris utama merasa terganggu. Sehingga terus larut dalam pemikirannya sendiri. Yakni sebuah pemikiran yang membuatnya kian kusut dan carut marut.

Seseorang yang dipanggil paman oleh Raden Admaja itu menaikkan alisnya. “Lebih baik langsung saja, Keponakanku. Bagaimana dengan keputusanmu?” tanya beliau kemudian.

Raden Admaja bersitatap sejenak dengan pengawal setianya yang langsung menundukkan pandangan. Sebagai isyarat bahwa beliau siap menerima perintah, jikalau memang diminta pergi terlebih dahulu. Tapi, Raden Admaja tidak melakukannya dan kembali menghadapi lawan bicara.

“Sepertinya, saya belum siap, Paman Jayasena,” jawab Raden Admaja perlahan. Rasanya, ada pancing tajam yang menyangkut di tenggorokannya saat berkata begitu. Karena dia tahu, obrolan setelah ini pasti akan lebih mempersulitnya lagi.

“Bah!” Raden Jayasena pura-pura terkejut. Sedang mimik wajahnya jelas tak begitu. Ada kesan merendahkan, merasa umpannya telah mengail sasaran yang tepat.

Lihat selengkapnya