Kampung Purwosari berbatasan dengan hutan Kalasan. Di belakang kampung, dekat dengan petak-petak sawah penduduk yang baru mulai digarap, mengalir sebuah sungai yang jernih dan dalam di beberapa titik. Titik-titik sungai yang sangat dalam itu bisa ditandai dengan warna airnya yang bersemu hijau. Seolah terbentang rerumputan di dasarnya, serta terdapat pusaran air di tengah-tengahnya. Meskipun bukan tepat berada diantara tiga titik pertemuan air seperti pada umumnya.
Kebanyakan penduduk kampung Purwosari sudah paham akan hal itu. Bahwa mereka tidak akan sekali-kali mencoba menjala atau memancing di bagian-bagian mengerikan itu. Sekaligus melarang anak-anak mereka agar tidak berenang di dekat alirannya. Anak-anak kampung Purwosari memang pandai berenang, tapi tidak untuk pusaran air mengerikan itu. Bahkan bagi orang dewasa sekalipun.
Rasanya sangatlah mengerikan apabila membayangkan terseret arus air sungai yang menggila bak berjuta-juta tali mengikat kaki. Tersedot masuk ke dalam pusaran air, berputar-putar di kedalamannya sampai beberapa lama dan baru muncul ke permukaan setelah nyawa telah melayang. Tentu saja dengan jasad yang menggembung dan terapung ketika ditemukan.
Dan jikalau kepercayaan penduduk setempat memang benar, arwahnya akan tetap tinggal di sana. Di dalam pusaran air yang telah menewaskannya. Kemudian beberapa kali menampakkan diri dengan tangan menggapai-gapai. Menanti, mengharap dan merayu yang lain agar ke sana. Mendayu-dayu dalam rindu karena menjadi penunggu tanpa adanya teman di tempat yang dingin itu. Pilu.
Agak menanjak pada lereng-lereng bukit yang ditanami kopi atau tanaman lain, batu-batu besar tampak menonjol ke luar dari dinding-dinding tebing yang langsung menjorok ke derasnya arus sungai. Jika musim hujan deras tiba dan berlangsung berhari-hari lamanya, beberapa batu di sekitar sungai akan turut tergerus arus. Menimbulkan bunyi gemelotak saat antara satu batu dan batu lainnya itu saling bertumbukan.
* * *
Pagi itu, embun-embun masih menggantung pada ujung-ujung daun setengah basah. Meski begitu, kabut-kabut sudah sepenuhnya menghilang dari pandangan. Paronama alam dengan segala hiruk pikuknya pun mulai menggeliat. Seperti halnya:
Ayam jantan yang belum jemu menghentikan kokoknya. Kemudian memburu ayam-ayam betina yang kesemuanya ditaksir. Anak-anak ayam menciap-ciap. Bersahutan dengan suara burung-burung berkicau atau lenguhan kerbau yang mulai digiring ke padang rumput. Baik itu oleh pemiliknya atau penggembala yang dipercaya. Saat seekor gudelĀ (anak kerbau) ke luar dari rombongan dan berusaha menggapai-gapai daun jagung dari balik pagar dengan lidahnya, saat itu pula si penggembala akan menyabetkan pecutnya (cambuk/cemeti). Menakut-nakuti si gudel bandel itu agar kembali ke dalam rombongan. Sedang sebagian pemandangan lain menampakkan beberapa petani yang memanggul cangkul. Melewati pematang sawah dan siap terjun mencangkul lumpur liat di petak sawah mereka.
Pada saat yang bersamaan dengan kegiatan di atas tadi, gubuk-gubuk penduduk tampak membumbungkan asap di bagian belakangnya. Tak jauh dari pintu dapur, tampak ibu-ibu dengan rambut digelung, tengah menampi gabah (padi) yang baru saja ditumbuk dalam lumpang (lesung). Dengan menggunakan tampah (nyiru), mereka memisahkan antara beras utuh, meniran, dedak, dan kulitnya, dengan beberapa ekor ayam mematuk-matuk beras atau meniran yang tercecer di tanah.
Sedangkan di halaman rumah, anak-anak kecil bermain kejar-kejaran atau petak umpet. Kebanyakan dari anak-anak itu akan menentukan lebih dulu batas-batas tempat persembunyian sebelum permainan dimulai. Misalnya, sebelah utara dibatasi oleh rumah Mbok ..., sebelah selatan dibatasi oleh kebun singkongnya Pakde ..., sebelah timur dibatasi pohon pule, dan sebelah barat dibatasi oleh jambannya Mbah ....