Darsa sudah tidak sempat lagi mengira-ngira. Siapa gerangan sosok misterius yang mampu berjalan di atas air dan membawa obor menyala di bawah guyuran hujan. Kini, beliau baru sibuk memikirkan bagaimana caranya ke luar dari dalam gua, setelah beberapa saat lamanya hanya terpaku. Sementara sosok itu terus melaju. Semakin mendekat dan tidak ada jalan masuk atau ke luar lainnya selain melalui mulut gua itu sendiri.
Satu-satunya cara ialah dengan memastikan lebih dulu siapa atau apa gerangan sosok itu. Kemudian baru memutuskan perlu menyerangnya atau tidak. Meskipun dalam posisi sekarang ini, merekalah sebagai pihak yang disergap. Selanjutnya, jika terjadi sesuatu di luar dugaan nanti, yang perlu dilakukan Darsa adalah memberi peluang kepada Raden Admaja dan rekan-rekan pengawalnya yang lain agar bisa ke luar dari gua. Hanya itulah rencananya. Lagipula sosok itu hanya seorang diri. Begitulah pikirnya.
Dan, sebelum sosok pembawa obor itu benar-benar memasuki mulut gua, Darsa cepat-cepat menyuruh Karta mundur guna menambah penjagaan di sekeliling Raden Admaja. Sedang beliau menjadikan dirinya sendiri sebagai tameng. Darsa memasang kuda-kuda dan siap menyerang kapan saja. Namun, begitu sosok itu mulai memasuki mulut gua dengan obor tetap menyala di tangan kanannya, malah terjadi sesuatu hal diluar dugaan. Yang mana, baik Darsa, Raden Admaja maupun pengawal-pengawal lainnya hanya bisa mematung tanpa mampu mengucap sepatah kata pun. Mereka seolah-olah telah tersihir oleh aura sosok misterius yang bisa berjalan di atas air dan membawa obor tersebut.
“Selamat pagi, Raden.”
Suara yang terdengar bagai kemericik air itu menggema dalam ruang gua. Sedang cahaya obor yang dipegangnya, seketika mengusir kesuraman dan menghangatkan perasaan mereka. Perasaan was-was, tegang dan sikap waspada yang mereka tunjukkan tadi, seketika sirna saat melihat wajah pemilik suara seperti kemericik air itu.
“Sepertinya Panjenengan (Anda) dan para pengawal Panjenengan membutuhkan bantuan.” Sosok berparas jelita itu melanjutkan.
Raden Admaja menghela napas dalam. Dia berusaha mengatur irama napasnya sebelum berkata-kata. Tanpa sedetik pun mengalihkan pandangannya dari wajah jelita sosok tersebut.
“Kalau saya boleh tahu, siapakah Nyisanak (panggilan sopan untuk perempuan dewasa) ini?” tanya Raden Admaja.
Sosok itu tersenyum. Menampakkan sepasang lesung pipi di kedua pipinya bak bunga-bunga yang merekah. Merayu dan memesona hembusan-hembusan angin agar berputar pelan mengelilinginya. Menerpa tubuhnya yang elok dan tidak basah, meskipun baru saja hujan-hujanan. Serta mempermainkan rambut hitam sepanjang lutut kakinya dan selendang ungu bersulam emasnya yang begitu indah. Sempurna. Benar-benar sempurna dipandang mata.