Dewi Batari membawa mereka ke dalam istananya yang tidak begitu besar. Namun, sangatlah megah untuk sebuah tempat tinggal yang hanya ditempati oleh seorang dewi. Tidak ada seorang pun pengawal maupun pelayan dalam istananya. Karena Dewi Batari bisa melakukan segala sesuatunya sendiri.
Makanan dan minuman lezat yang disajikannya pun tersaji dalam sekedip mata. Seolah-olah hanyalah tipuan. Namun saat dinikmati, makanan dan minuman itu sangatlah terasa nyata. Terkunyah nikmat dalam mulut, tertelan lekat dalam tenggorokan dan tersimpan nyaman dalam perut mereka yang selalu minta diisi dan diisi lagi. Apalagi makanan dan minuman yang tersaji dalam piring, gelas dan cawan yang terbuat dari emas itu seperti tidak ada habisnya. Meskipun mereka terus mengambil lagi dan lagi. Sementara itu, Dewi Batari hanya bisa tersenyum senang tanpa sedikit pun ikut menikmati makanan dan minuman yang disuguhkannya.
“Aku sudah mempersiapkan tempat tidur untuk kalian beristirahat,” kata Dewi Batari. Setelah dia membereskan meja makan dari sajian-sajian yang seolah tidak tersentuh sama sekali itu. Yang tentu saja hanya dengan sekali kedipan mata dan senyumannya. Kemudian dia menunjuk sebuah pintu yang secara perlahan terbuka sendiri.
“Kalian boleh tinggal di sini sampai hujanku reda dan aku akan mengembalikan kalian langsung di tepi hutan Kalasan nanti. Sekarang selama hujan itu mengguyur, silahkan gunakan waktu kalian dalam istanaku untuk beristirahat atau sekedar jalan-jalan. Dan kalian tidak perlu takut kelaparan selama berada di sini," lanjutnya.
“Terimakasih banyak, Dewi,” kata para pengawal Raden Admaja sebelum berpamitan untuk beristirahat.
“Dewi, apakah kami boleh tinggal di sini jauh lebih lama? Meskipun hujan Batari-mu sudah reda? Atau ... bisakah Dewi memperpanjang waktu hujannya supaya kami bisa tinggal di sini jauh lebih lama?” tanya Kentus polos.
Dewi Batari mengangguk-angguk. “Tentu saja, Kentus.”
“Yang benar, Dewi?” Kentus melonjak seperti anak kecil.
Dewi Batari mengangguk.
Kentus melonjak-lonjak lagi sambil bertepuk tangan kegirangan. Senang bukan kepalang. Begitu juga dengan yang lain meskipun tidak sampai melonjak-lonjak seperti anak kecil atau bahkan cempe (anak kambing).
“Tentu saja aku bisa memperpanjang atau memperpendek waktu hujannya, tapi ... tentu saja kamu tidak boleh tinggal terlalu lama di sini, Kentus.” Dewi Batari tersenyum geli.
Kentus terpaku di tempatnya. Senyumnya seketika sirna. Bibirnya pun mengerucut. Cemberut. Merasa dikerjai oleh sang Dewi.
“Dasar tidak tahu diuntung!” Karta menjitak kening Kentus sebelum masuk ke ruang istirahat yang ditunjukkan oleh Dewi Batari tadi. Sekaligus melampiaskan rasa kecewanya juga pada Kentus yang jujur apa adanya.
Kentus tidak mengatakan apa-apa. Meskipun rekan-rekan sesama pengawalnya, tak terkecuali Darsa, bergiliran menjitak keningnya saat melewatinya. Bibirnya semakin mengerucut. Tapi tak urung pengawal paling muda itu mengikuti langkah-langkah yang lain menuju ke ruang istirahat yang dipersiapkan oleh Dewi Batari.