Tepi hutan Kalasan sudah tertinggal jauh di sana. Bagai bayang-bayang paras elok Dewi Batari yang melepas kepergian sekaligus menanti kedatangannya kembali. Ya. Raden Admaja memang berniat kembali.
Paras elok nan menawan Dewi Batari telah menjerat hatinya. Kedua lesung pipinya yang merekah telah merengkuh sebagian dari jiwanya yang tersembunyi. Dan dia juga menginginkan keajaiban lain yang lebih dari sekedar tatapan yang terasa menelanjanginya itu. Yang paling penting, dia telah mendapatkan ajian itu dan menghapalnya. Tidak akan ada yang bisa menghalangi keinginannya dan tidak perlu ada seorang pun yang tahu. Seorang pun!
Namun, begitu dia dan para pengawal berburunya kembali menapaki jalanan kampung Purwosari, perasaan Raden Admaja berubah menjadi tidak menentu. Sebuah perasaan yang jauh lebih rumit daripada sekedar hati yang terjerat atau jiwa yang terrengkuh. Lebih dari itu. Karena perasaan itu dulu begitu murni dan tidak ada noda di dalamnya. Dia tidak bisa pulang ke istana. Jika perasaan yang tak menentu itu belum mendapatkan jawabannya.
Dan di sanalah kuda Raden Admaja berhenti. Di depan jalan setapak menuju ke sebuah gubuk yang dia singgahi beberapa hari lalu sebelum berburu. Gubuk milik Mbok Dinah.
Setiowati.
Raden Admaja turun dari punggung kudanya. Menghela napas panjang sebelum melangkah menuju ke gubuk itu.
Kenapa jadi terasa begini? Kenapa tidak seperti beberapa hari lalu atau seperti hari-hari jauh sebelumnya saat dia turun di depan jalan setapak ini? Yakni dengan perasaan tak sabar ingin menemui kekasihnya.
Setiowati.
Kenapa langkahnya jadi tak seringan dulu? Kenapa hatinya jadi terasa seberat ini?
Bahkan gubuk itu terasa seperti menolak kehadirannya. Tidak. Tidak. Raden Admaja merasa harus tetap ke sana dan menemuinya.
Setiowati.
Karena jawaban atas perasaannya yang tidak menentu itu hanya ada pada dirinya. Wajahnya. Senyumnya.