Sementara itu, pada siang harinya yang cerah, enam penjaga gapura Panembahan Ratu, yakni gerbang masuk menuju atau ke luar dari ibukota kerajaan Jayakarta, kedatangan tiga tamu asing. Setelah beberapa saat berbincang-bincang dengan para penjaga, ketiga tamu asing itu menyerahkan kuda-kuda mereka kepada salah satu penjaga gapura. Kemudian mereka mengikuti seorang penjaga lainnya memasuki gapura Panembahan Ratu.
Gapura yang terbuat dari batu bata merah itu sangatlah indah dan menjulang kokoh. Saat teriknya sinar matahari menimpanya dan memanggangnya seperti siang ini, gapura itu tampak menyala kemerahan dan semakin menambah aura kemegahannya.
Ketiga tamu asing itu sengaja berjalan lambat-lambat demi mengamati dinding berukir gapura Panembahan Ratu yang indah dan halus. Tampaknya mereka belum pernah melihat sebuah bangunan yang semegah gapura Panembahan Ratu di tempat asalnya atau di tempat lain yang pernah mereka kunjungi. Belum lagi saat mereka mulai memasuki istana kerajaan, maka bertambah takjublah ketiganya. Di mana tiap ujung menara, baik besar maupun kecil yang menghiasi atap istana bersepuh emas atau perak.
Sementara si penjaga tadi melapor ke dalam istana, ketiga tamu asing itu tak menyia-nyiakan pandangan mereka begitu saja. Mereka dengan takjubnya berusaha menyematkan pemandangan indah itu dalam pikiran untuk kembali diceritakan.
Ketiga tamu itu disambut secara baik dan dibawa ke bilik peristirahatan khusus untuk para tamu kerajaan. Ketika langit sore mulai menampakkan semburatnya, ketiga tamu itu baru bisa bertemu dengan Raden Jayasena di Pendopo Agung. Yaitu tempat penyambutan khusus bagi para tamu penting kerajaan yang ingin bertemu dengan Raja Jayakarta.
“Kalau boleh tahu, dari mana Kisanak-Kisanak ini berasal?” tanya Raden Jayasena saat menemui ketiga tamu asing itu.
Sebagai sambutan dan penghormatannya, Raden Jayasena menuangkan minuman ke dalam gelas-gelas perak sebagai ucapan selamat datang. Selain itu, Raden Jayasena juga menyuruh para emban-nya untuk menyuguhkan makanan-makanan lezat di atas meja yang berhadapan langsung dengan kolam luas di tengah taman.
Melalui permukaan kolam yang tenang itu, warna-warni semburat senja tampak memantul di atasnya. Ngawe-ngawe (melambai-lambai) seperti ingin menarik perhatian siapa saja agar duduk di tepiannya sambil menikmati langit sore. Begitu pun saat awan mendung mulai berarak menampakkan diri, air dalam kolam menirukannya dengan rapi.
“Kami datang dari jauh, Paduka. Kami datang dari Pulau Seberang,” ujar salah seorang di antara mereka yang jauh lebih tua, berwajah bulat dengan rambut mulai memutih yang digelung cacandyan. Lalu mengeluarkan sebuah lempengan emas berukirkan burung Garuda sebagai tanda pengenal dari kerajaan mereka, kerajaan Pulau Seberang.