HUJAN DEWI BATARI

Call Me W
Chapter #18

MAHAPATIH WIRATAMA 1

Jubah-jubah malam semakin erat menyelimuti bumi Jayakarta. Bersama hujan deras yang mengguyur, keduanya bak sejoli kesuraman yang membuat suasana malam semakin larut dalam kekangan. Dari balik celah-celah dinding gedhek atau geribik gubuk penduduk kampung, nyala lentera yang tertiup angin nampak mlerik-mlerik . Selain itu, sayup-sayup juga terdengar suara dengkuran halus dari dalam bilik penduduk kampung yang sedang terlelap. Meskipun sesekali angin berhembus kencang, menghempas dinding bilik mereka atau suara guntur menggelegar di luar sana, mereka masih tetap terlelap dalam buaian mimpi dan kriwis-kriwis suara hujan.

Sekiranya, dalam cuaca tak bersahabat seperti malam ini, tidak akan ada seorang pun yang mau ke luar rumah. Jika tidak benar-benar sedang terdesak atau karena adanya tugas yang harus dilaksanakan. Seperti halnya beberapa penduduk kampung atau prajurit-prajurit kerajaan yang mendapat tugas giliran berjaga malam.

Di mana mereka yang seharusnya berkeliling sambil memukul kentongan, malah memilih duduk-duduk di pendopo sambil bermain dadu. Atau hanya sekedar bertukar cerita untuk mengalihkan perhatian akan rasa dingin dan kantuk hingga pagi menjelang nanti. Sama-sama memantapkan hati, membenarkan pemikiran sendiri, atau paling tidak sama-sama berharap, bahwa orang-orang yang biasanya bekerja pada malam hari memiliki keengganan ke luar mencari mangsa malam ini.

Namun, saat para prajurit kerajaan itu menjadi lengah karena semakin larut dalam lingkaran permainan dadu atau obrolannya, saat itu pula dua sosok hitam mengendap-endap di teritisan bilik peristirahatan Raden Admaja.

Dua sosok itu masih berdiri di teritisan. Punggungnya menempel di dinding bilik peristirahatan guna menghindari tetesan air hujan yang jatuh dari tepian atap. Sedang mata mereka awas memperhatikan para prajurit yang sedang asyik bermain dadu di pendopo.

Setelah beberapa saat kedua sosok itu diam di teritisan, mengawasi dan mengamati kapan adanya kesempatan atau waktu yang paling tepat, keduanya pun mulai saling berbisik-bisik dengan tangan menunjuk-nunjuk. Kemudian pergilah kedua sosok itu ke tempat masing-masing seperti yang telah disepakati dalam bisik-bisik sebelumnya.

Sesosok hitam yang lebih tinggi mengendap-endap menuju ke belakang bilik. Sedangkan sosok yang satunya lagi naik ke serambi depan bilik peristirahatan dengan sangat pelan dan berhati-hati. Setiap langkah berjingkat-jingkatnya nyaris tanpa menimbulkan suara. Kalau pun menimbulkan suara, akan segera diredam oleh suara kriwis-kriwis hujan atau guntur yang bergemuruh.

Setiap kali ada cahaya halilintar yang menyambar, sosok itu cepat-cepat berdiri di balik tiang atau merunduk di balik tanaman dalam pot yang ditata rapi di serambi. Setelah cahaya halilintar menghilang dan suasana menjadi gelap lagi, sosok itu pun kembali melangkah menuju ke pintu bilik peristirahatan Raden Admaja. Sedang matanya sesekali menoleh ke arah pendopo yang dipenuhi prajurit.

Tok ... tok ... tok 

“Pangeran?” bisik sosok itu. Mengetuk pintu dengan perlahan.

Tok ... tok ... tok 

“Den?” Sosok itu kembali memanggil dengan suara berbisik. 

Ketukannya pada daun pintu masih sangat pelan dan nyaris tidak terdengar. Entah butuh waktu berapa lama sampai ketukan dan bisikannya itu bisa didengar. Apalagi kalau si penghuni bilik sudah tertidur pulas dan pendengarannya dihalangi oleh suara guntur yang bergemuruh. Ada perasaan tidak sabar yang menggebu dalam hatinya hingga membuatnya tampak seperti seseorang yang sedang menahan kencing. Tapi sosok itu sadar kalau dia tidak boleh tergesa-gesa. Jika tidak ingin kedatangannya diketahui oleh orang lain.

“Den? Raden?”

“Siapa?”

Sosok itu menghembuskan napas yang terasa sangat melegakan. Benar-benar tak menyangka kalau akan mendapatkan jawaban secepat itu. 

“Darsa, Den.”

Lihat selengkapnya