HUJAN DEWI BATARI

Call Me W
Chapter #21

SERANGAN

Seperti yang telah disarankan oleh Mahapatih Wiratama semalam. Maka, pergilah Raden Admaja berburu ke hutan Kalasan ditemani Darsa, Karta dan Kentus. Karena baginya, begitu sulit tampak biasa-biasa saja setelah mendengar gagasan itu. Apalagi setelah memutuskan sebuah keputusan besar seperti semalam.

Oleh karenanya, meskipun sedang tidak ingin pergi berburu, Raden Admaja memaksakan diri pergi ke hutan. Lalu tidur-tiduran di batang pohon yang roboh setelah sampai di sana. Dia sama sekali tidak melakukan apa-apa. Oleh karenanya pula, pemuda itu tidak mampir terlebih dulu ke gubuk Mbok Dinah guna berpamitan kepada kekasihnya.

Sementara itu, ketiga pengawalnya berhasil memanah dua ekor kelinci gemuk tidak jauh dari tempatnya bermalas-malasan. Lalu segera membagi tugas agar bisa cepat memanggang daging kelinci hasil tangkapan. Tidak berapa lama, setelah ketiganya menyelesaikan tugas masing-masing yang berupa membersihkan daging kelinci, mencari kayu bakar dan membuat api, bau gurih dan harum daging dipanggang menguap di bawah pepohonan hutan Kalasan. Merangsang bangun perut mereka yang segera bergejolak. Berbunyi riuh seperti suara ayam-ayam jago yang berkukuruyuk.

“Daging panggang sudah siap, Raden!” seru Kentus yang duduk bersila tak jauh dari Karta.

Karta sendiri sedang memotong-motong daging kelinci panggang menggunakan sebilah belati. Kedua tangan Kentus pun sibuk mengusap-usap tanda tak sabar. Sedangkan jakunnya berulang kali naik turun karena terus menelan ludah.

“Benarkah?” kata Raden Admaja segera bangkit dari tidur-tidurannya.

“Lihatlah! Menggoda, bukan?” tunjuk Kentus.

Raden Admaja hanya tersenyum menanggapi.

Monggo, Raden,” kata Karta. Menyodorkan sepotong paha daging kelinci yang berwarna kecoklatan dan masih mengepulkan asap itu pada Raden Admaja. Baru setelah itu, Karta menyodorkan potongan berikutnya untuk Darsa.

“Terima kasih,” ucap Raden Admaja dan Darsa hampir bersamaan.

“Dan ...,” Karta mencubit sedikit daging kelinci panggang itu. Lalu menaruhnya di atas kedua telapak tangan Kentus yang menengadah penuh harap. “Ini buatmu, Bocah Tengik! Anak kecil tidak perlu makan banyak-banyak. Nanti kesedak!”

Kentus mengangkat secuil daging yang diberikan padanya ke udara dengan bibir mengerucut. Menatap kecut pada tiga orang lainnya yang masing-masing memegang potongan besar daging.

Kebangetan!” sungutnya seraya memasukkan cuilan daging itu ke dalam mulutnya.

Tak pelak Raden Admaja, Darsa dan Karta tertawa.

Lihat selengkapnya