Sudah lama rasanya sejak terakhir kali Raden Admaja berkunjung ke Pendopo Agung. Atau barang sekedar berjalan-jalan di sekitar istana kerajaan Jayakarta. Oleh karenanya, dengan ditemani oleh Darsa dan Karta, Raden Admaja berangkat lebih awal sore itu. Tujuannya agar bisa berjalan-jalan sejenak sebelum memenuhi undangan dari pamannya, Raden Jayasena.
Jauh sebelum mencapai Pendopo Agung, Raden Admaja melewati sebuah lapangan yang sangat luas. Biasanya lapangan ini digunakan untuk berlatih beladiri, memanah atau vyuha (strategi perang). Serta upacara-upacara besar nan penting tertentu, seperti upacara pernikahan dan penobatan.
Dan pada hari ini, suasana di lapangan jauh lebih ramai dari hari-hari berlatih seperti biasanya. Di mana terdapat berpuluh-puluh ekor kuda dan beberapa ekor gajah perang tampak memenuhi sudut-sudut lapangan yang berbatasan langsung dengan pepohonan. Selain itu, terdapat pula berbagai jenis senjata yang ditata dalam peti-peti. Serta alat tetabuhan seperti gendang, gong, tambur atau terompet yang akan dibunyikan sebagai tanda dimulainya peperangan di hutan Pancala dua hari lagi.
Wajah para prajurit hari ini pun tampak lebih bersemangat daripada sebelumnya. Bahwa mereka tidak kenal takut dan yakin akan memenangkan pertempuran. Ya, itu mungkin saja. Selama prajurit-prajurit setia Raden Jayasena tidak mengetahui sisi lain peperangan yang dimainkan oleh Mahapatih Wiratama, Raden Ramayana dan sebagian kecil olehnya. Atau juga oleh siasat kecil yang dimainkan oleh dirinya sendiri beserta seluruh kekuatan kerajaan Pulau Seberang. Jika siasatnya itu berhasil menarik induk buaya nanti.
Setelah melewati lapangan yang hiruk pikuk, Raden Admaja melewati bangunan megah istana kerajaan Jayakarta. Sedang beberapa candi kecil tampak menyelip di antara taman bunga yang indah. Seketika itu juga Raden Admaja merasa maklum. Senyumnya merekah saat dia teringat akan ambisi kuat pamannya yang ingin tetap berkuasa. Istana kerajaan yang megah dan pongah inilah wujudnya.
Karena bagi siapa saja yang berdiri di luar bangunannya, seperti halnya dirinya saat ini, tidak dapat memungkiri keinginan untuk menjadi pemilik dari bangunan megah itu dan duduk di atas singgasana emasnya. Begitu juga dengan seseorang yang telah berhasil memilikinya dan duduk di singgasananya. Seseorang itu tentu tidak akan mudah atau bahkan tidak mau melepaskannya.
Barulah kemudian Raden Admaja melewati bilik-bilik perisirahatan para tamu kerajaan yang di sampingnya berdiri kokoh Pendopo Agung. Pendopo itu masih tampak sama seperti terakhir kali Raden Admaja melihat dan mengingatnya. Tampak gagah dan seperti mengetuai bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya. Mengecualikan istana kerajaan karena istana itu berada pada bidang tanah yang lain dan dibatasi oleh taman sari.
Setelah sampai di sana, Raden Admaja tidak langsung masuk ke Pendopo Agung. Dia memilih berjalan santai di tepian kolam yang terbentang di depan Pendopo. Seperti halnya Pendopo Agung, kolam yang dibuat dari susunan batu bata merah itu juga tidak banyak berubah. Permukaan air kolam itu masih memantulkan pemandangan langit atau sekedar burung-burung yang kebetulan lewat di atasnya. Burung-burung yang hendak pulang ke sarangnya itu berwarna putih dengan kaki kuning. Saat terbang beriringan, burung-burung itu membentuk formasi terbang menyerupai mata anak panah dengan pemimpin berada tepat di sudut runcingnya.
“Sudah lama menunggu?” tegur Raden Jayasena.
Raden Admaja membalikkan badan. “Belum, Paman. Aku belum lama sampai. Aku sengaja datang lebih awal untuk sekedar jalan-jalan.”
Raden Jayasena menaikkan alisnya. Kemudian mengangguk-angguk. “Mari, masuk ke Pendopo. Para dayang sebentar lagi akan menyajikan makanan.”
Raden Admaja mengikuti langkah pamannya sembari mengamati gerak-geriknya dari belakang. Sepertinya ada yang aneh dengan sikap pamannya sore ini. Mungkin saja dia salah.