HUJAN DEWI BATARI

Call Me W
Chapter #3

RASA TIDAK PERCAYA

“Apa yang akan Raden lakukan?”

Kata-kata pengawal setia itu bagai mengetuk-ngetuk pintu pikiran. Seolah-olah baru saja menyadari kalau ada orang lain di dekatnya.

Ya, dia memang harus melakukan sesuatu. Tapi, apa? Akankah bhattara shaptaprabu (para sanak saudara raja) dan dharma-upapatti masih ada yang berpihak padanya setelah sekian lama dia ditenggelamkan oleh sang pamanda? Masihkah ada satu orang saja yang sudi menyambut tangannya saat dia menggapai-gapai nanti? Kalau pun ada, akankah pamannya itu sudi berdiam diri dan hanya tertawa seperti tadi? Selain itu, akankah uluran tangan mereka itu benar-benar tulus tanpa adanya tujuan dibalik kebaikannya?

Tidak! Sepertinya tidak.

Hatinya yang merana semakin dipenuhi keraguan saat ini. Bahkan pamannya sendiri yang dulu begitu disanjung, dihormati dan begitu dipercayai, tega menina-bobokannya dalam keterpurukan. Mengelabuinya. Jikalau selama ini tidak ada seorang pun dari bhattara shaptaprabu dan dharma-upapatti yang datang padanya untuk menasehati atau sekedar memperingatkan, mungkinkah mereka semua telah bersekongkol dengan pamannya itu?

Raden Admaja hanya bisa menghela napas dan tidak sanggup berpikir lebih dari itu. Kepalanya terasa sakit saat semua pemikiran yang dimiliki berputar-putar dalam otaknya. Tidak ada lagi rasa percaya yang tersisa dalam diri.

Pandangannya kini menerawang ke arah pendopo satunya yang berada di ujung sana, dekat dengan bilik peristirahatannya yang sederhana, tapi tampak nyaman dan tenang. Beberapa langkah di depan pendopo itu, orang-orangan sawah yang terbuat dari ijuk tampak mengangguk-angguk lesu. Keadaannya sangatlah memprihatinkan, di mana lehernya nyaris patah karena ditembus oleh berpuluh-puluh anak panah yang tadi dilesatkannya saat berlatih.

Nasibnya sangat berbeda jauh dari ijuk-ijuk yang menjadi atap pendopo tersebut, di mana tepat di samping kirinya tumbuh sebatang pohon bunga katangga yang sedang berbunga. Meskipun ijuk-ijuk itu saban harinya harus rela dipanggang teriknya sinar matahari atau diguyur air hujan. Namun saat buang-bunga dari pohon katangga itu jatuh berguguran di atasnya, ijuk-ijuk itu tak ubahnya seperti rambut indah seorang gadis cantik yang bertabur bunga. Indah, wangi dan akan menawan hati siapa saja yang memandangnya.

***

Sampai beberapa kali Googling di internet, penulis belum berhasil menemukan gambar dari bunga katangga itu sendiri. Bisa jadi kurang teliti. Gambaran pendopo dengan ujuk-ujuk bertaburan bunga katangga ada dalam Kakawin Negarakertagama karya Mpu Prapanca era kerajaan Majapahit. Sungguh sayang untuk dilewatkan!

Lihat selengkapnya