“Kerasan sekali ya hujan ini.” Keluh salah seorang pengawal termuda, menggumam. Sambil mengawasi kelebatan hujan tak jauh dari mulut gua. Setengah berharap rusa itu akan kembali dan bendoronya akan berubah pikiran. Sedang kedua tangannya terus memegangi perutnya yang keroncongan.
“Harus bagaimana ini, Den?” lanjutnya. Berpaling menatap Raden Admaja dengan wajah merengek.
“Sabar to, Tus!” Darsa sebagai pengawal berpengalaman yang sering menemani bendoro-bendoronya berburu dalam hutan, yang menyahut. “Kita tunggu sebentar lagi.”
Pengawal termuda yang bernama Kentus itu diam. Sedang bibirnya cemberut karena kata sebentar yang serba tidak pasti. Bahkan Darsa bukanlah seorang peramal cuaca. Tapi ya sudahlah. Mau bagaimana lagi? Lalu, dia pun kembali memperhatikan rinai-rinai hujan yang seperti tanpa celah di luar sana. Sedang mulutnya komat-kamit seperti tengah merapal mantera.
“Tahu cerita tentang Hujan Dewi Batari, Kang?” Kentus kembali berkata-kata. Beberapa saat setelah puas berkomat-kamit dan malah membuat hujan semakin deras saja. Sedang suasana hening bercampur dingin, apalagi ditambah dengan perut keroncongan, malah membuatnya semakin tidak tenang.
“Cekkk! Itu mah cuma dongeng.” Darsa yang sedang mengasah pedangnya dan pedang rekan-rekan pengawalnya sebagai pengalih perhatian, menjawab acuh. Sepertinya beliau sedang tidak ingin diajak berbincang-bincang. Dan tentu saja tanpa maksud mengolok-olok kepercayaan nenek moyangnya.
“Dia Dewi Hujan, kan?” tanya Raden Admaja menanggapi. Bermaksud mengalihkan perhatian akan rasa lapar dan dingin pengawal mudanya. Sekaligus mengalihkan pikirannya sendiri akan perkataan pamannya kemarin. Selain itu, tujuannya pergi berburu bukanlah untuk mengingat-ingat kejadian tersebut. Tapi untuk menyegarkan otaknya kembali agar bisa berpikir jernih. Meskipun dia tahu itu tidak akan menyelesaikan masalahnya begitu saja.
“He'eh, Den,” Kentus mengiyakan. “Katanya, saat hujan deras turun nggak ketulungan (tak terkira) begini, menandakan kalau Dewi Batari sedang turun ke bumi.”
“Ngapain dia?” tanya Raden Admaja ringan.
“Koceh (mainan air)." Kentus terkekeh.
Darsa memelototi Kentus karena pengawal berperawakan pendek dan agak kurus itu tidak menjawab dengan benar pertanyaan bendoronya.
“Ya, memang begitu kok, Kang,” Kentus membela diri. “Koceh kan sama dengan mainan air. Kalau Dewi itu turun ke bumi saat hujan deras begini dan hujan-hujanan seperti anak kecil, kan sama dengan koceh. Iya kan, Den?”
Raden Admaja manggut-manggut dan tak urung tersenyum. “Ya, aku pikir juga begitu,” katanya, masih menanggapi dengan nada ringan.
“Tuh kan, Kang!”
Kentus memonyongkan mulutnya sebagai tanda kemenangannya pada Darsa. Namun, kemudian cepat-cepat berpaling saat Darsa kembali memelototinya. Pengawal muda itu pun kembali memperhatikan hujan deras dari mulut gua. Seperti halnya yang lain, pemuda yang belum lama menjadi abdi di kerajaan itu berusaha keras agar mengalihkan perhatiannya dari rasa lapar dan tidak ingin membuat keributan lagi. Tapi belum ada sepuluh menit suasana kembali hening, dia malah kembali membuat ulah.