HUJAN DEWI BATARI

Call Me W
Chapter #8

TERJEBAK HUJAN

Raden Admaja seketika terbayang kembali akan paras ayu kekasihnya, Setiowati. Desiran mendayu angin yang menghembus pelan kelopak-kelopak bunga itu, tak ubahnya seperti sifat lemah lembutnya yang menawan. Sedangkan kelopak-kelopak bunga itu ialah dirinya - hatinya yang terayun-ayun, melayang dan menurut ke mana saja angin itu akan membawanya. Sekiranya, begitulah gambaran akan pribadinya yang tengah di mabuk kasmaran.

Seandainya saja dia bisa membawa Setiowati ke sini. Seandainya pula tempat seindah ini berada tak jauh dari kerajaan Jayakarta. Tentu saja Telaga Wangi ini akan dijadikan tempat bercengkrama yang paling indah baginya dan kekasihnya itu. Tempat di mana mereka akan menghabiskan waktu berdua atau dengan anak-anak mereka kelak. Sebuah tempat persembahan atas rasa cintanya. Dan angan-angannya itu pun terus mengalun dalam lamunan yang mengundang rasa kantuknya.

“Kita kembali nanti saja. Aku ingin tidur dulu.” Raden Admaja memutuskan seraya merebahkan punggungnya di atas rerumputan.

Dalam buaian alam, dia menikmati sentuhan demi sentuhan kecil nan lembut kelopak-kelopak bunga flamboyan yang berjatuhan di wajahnya. Dan ahhh ... rasanya tak apa kalau dia pulang tanpa mendapatkan hewan buruan. Pemandangan dan suasana di telaga ini sudah cukup mengobati rasa letihnya. Apalagi sembari membayangkan wajah kekasihnya. Sungguh perpaduan yang sempurna.

Para pengawal itu mengangguk mengerti. Kemudian membagi tugas berjaga di sekeliling telaga kalau-kalau ada sesuatu hal yang mencurigakan. Apalagi sampai membahayakan bendoro mereka selama terlelap. Dan entah sudah berapa lama Raden Admaja dibiarkan terlelap dalam buaian-buaian alam. Serta sebuah mimpi indah yang menyambangi tidurnya. Sampai kemudian, salah seorang pengawal dengan tergesa membangunkannya.

Raden Admaja bergegas bangun. Dalam pengaruh nyawa yang masih tersangkut pada alam mimpi alias belum ngumpul, pemuda itu mengedip-ngedipkan matanya yang masih terasa berat dan lengket.

“Maaf, Raden. Hari sepertinya akan turun hujan,” kata pengawal itu setelah Raden Admaja membuka mata dan beranjak bangun.

“Hujan?” gumamnya.

Raden Admaja menengadah ke langit. Dan benar saja. Langit yang menaungi bumi mereka tengah berdiri memang tidak secerah tadi. Bahkan awan-awan mendung yang pekat seperti terus berdatangan dan menyatu dalam lapis-lapis padu. Tampak menggelayut berat di atas sana dan tak kuasa lagi menanggung bebannya. Sedang guntur terdengar bergemuruh riuh. Hanya saja tidak disertai sambaran petir sehingga suasana yang mendadak gelap tidak begitu menyeramkan.

Lihat selengkapnya