HUJAN DEWI BATARI

Call Me W
Chapter #17

SALAH KAPRAH ITU

Akarsana mencegah Adika dan Adikara mencabut pedangnya dengan mengangkat tangan kanannya ke udara. Sedangkan prajurit-prajurit kerajaan Jayakarta yang berada di sekitar Pendopo Agung masih berdiri di tempatnya dengan tatapan waspada. Menunggu perintah.

“Dan asalkan kalian tahu, dari ujung ke ujung dan malang melintang dari pesisir ke pesisir, kerajaan Pulau Seberang-lah yang belum kami jamah untuk ditaklukkan! Asal kalian tahu, perluasan kekuasaan kerajaanku tengah mengarah ke kerajaan kalian sekarang ini! Apakah Raja kalian itu masih mau bersibuk-sibuk diri mengirim surat dan meminta upeti? Asal kalian tahu, Jayasena tidak pernah meminta upeti lebih dulu kepada kerajaan lain melainkan langsung menaklukkannya! Akan kubuat Rajamu mencium kakiku!” seru Raden Jayasena seraya membanting surat dari daun lontar itu di atas meja dan meludahinya.

Kericuhan pun terjadi di dalam Pendopo Agung. Di mana bilah pedang Adika dan Adikara teracung dan mata-mata tombak para prajurit kerajaan Jayakarta terhunus.

“Pilihlah sekarang, Akarsana, utusan kepercayaan dari Raja Anggabaya yang tidak tahu diri! Pergi atau mati?” tuding Raden Jayasena.

Akarsana menghela napas panjang. Lelaki itu sudah tahu bahwa suasana seperti ini pastilah akan terjadi. Baginya, tidak ada satu orang pun yang bisa menandingi kekuasaan rajanya, Raja Anggabaya dari Pulau Seberang. Tapi dari pengalaman-pengalamannya selama menjadi seorang utusan, Akarsana jadi lebih tahu bagaimana harus bersikap bijak. Meskipun tengah dihina dan diancam sekalipun. Ditolak atau dihina ialah resiko yang sudah biasa didapatkannya.

Kerajaan Pulau Seberang dan kerajaan Jayakarta bisa jadi memang memiliki cara berbeda dalam menaklukan kerajaan-kerajaan lain. Bagi kerajaan Jayakarta, berbasa-basi meminta upeti lebih dulu, bisa jadi dianggap buang-buang waktu. Melainkan langsung menyerang ialah cara yang dianggap tepat dan menantang. Tapi setidaknya, bagi kerajaan Pulau Seberang sendiri, basa-basi itu akan menghindarkan kerajaan lain dari kehancuran, andai saja mau menerima tawaran bernaung di bawah kekuasaan Raja Anggabaya. Toh, raja mereka tidaklah sekejam itu.

“Baiklah. Kami akan pergi, Paduka!” katanya kemudian, masih dengan penuh rasa hormat pada Raden Jayasena.

“Bagus!” kata Raden Jayasena. “Dan sekalian saja sampaikan kepada Rajamu itu, bersiap-siaplah menghadapi Jayasena dari kerajaan Jayakarta! Mari kita selesaikan masalah upeti ini!”

Adika dan Adikara kembali menyelipkan pedangnya dan mengikuti Akarsana yang mulai melangkahkan kaki meninggalkan Pendopo Agung. Dan tanpa mereka sadari, malam telah mengambang dan hujan sedang turun dengan derasnya. Namun, mereka tidak mungkin menarik lagi kata-kata yang telah diucapkan dan pantang meminta belas kasihan. Mereka akan tetap menerobos kelebatan hujan untuk kembali ke dermaga.

Lihat selengkapnya