Karena setelah sekian lamanya menahan diri, Raden Admaja merasa bahwa saat inilah waktu yang tepat untuk mengatakan semua masalah yang membebaninya. Jika tidak sekarang dan terdorong oleh rasa tertekannya selama ini, maka tidak akan ada lain kali. Begitulah kira-kira perasaan dan pikirannya mengatakan.
“Pasti sangat tidak mudah bagi paman Mahapatih sendiri atau bagi Bhattara Shaptaprabu untuk berpaling dari Paman Jayasena dan beralih membelaku. Karena kalau sampai aku naik tahta nanti, pastilah Paman Jayasena akan turun menjadi Mahapatihku. Yang itu artinya menduduki jabatan paman Mahapatih Wiratama sekarang ini. Bukankah begitu?”
Mahapatih Wiratama merasakan tubuhnya berkeringat meskipun cuaca sedang dingin. Duduknya pun tampak resah, tidak nyaman dan tampak serba salah. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa akan mendapat semburan-semburan pernyataan serupa itu.
Siapa pula yang tidak akan merasa tertohok dan terpojok? Kalau dipikir-pikir, paman dan keponakan sama-sama tidak suka berbasa-basinya. Ibarat buah tidak akan jatuh dari pohonnya, rupanya tak berlaku hanya antara anak dan orangtuanya saja. Kepada orang-orang terdekat yang berpengaruh pun, bisa jadi. Kecuali kalau pohon itu tumbuh dekat sungai dan buahnya jatuh ke sungai, lalu terhanyut.
“Ampun berribu-ribu ampun hamba haturkan kepada Panjenengan, Pangeran. Sekali-kali hamba tidak pernah berpaling kesetiaan melainkan melihat kesempatan yang tepat saja, Pengeranku,” kata Mahapatih Wiratama dengan kedua tangan mengatup dan punggung membungkuk.
“Maksud, Paman?”
“Jika sudah seperti ini, Raden, saya terpaksa mengakui maksud Raden Jayasena yang ingin tetap berkuasa. Yah, dugaan Raden tadi memanglah benar adanya,” jawab Mahapatih Wiratama.
“Jadi, Paman Mahapatih sudah lama mengetahuinya?”
Mahapatih Wiratama mengangguk.
“Lalu, kenapa Paman baru mengatakan sekarang ini?”
“Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, Raden. Saya sedang menunggu kesempatan,” kata Mahapatih Wiratama.
“Jadi, sebenarnya apa yang ingin Paman bicarakan padaku? Kesempatan apa yang sekiranya membuat Paman berubah pikiran itu?” tanya Raden Admaja.
Mahapatih Wiratama melirik ke arah Darsa yang masih berdiri dekat pintu sebelum berkata-kata. “Apakah dia harus tetap di sini?” tanyanya.
“Apakah berita itu sangat penting?” Raden Admaja balik bertanya.
“Sangat penting, Raden. Meskipun sepenting-pentingnya berita itu akan tetap sampai ke telinga Raden. Bisa melalui siapa saja. Karena kejadian itu banyak sekali saksi matanya,” jawab Mahapatih Wiratama. “Tapi, yang paling penting ialah mengenai gagasan yang ingin saya sampaikan pada Raden. Sekarang ini, selain saya sendiri, belum ada seorang pun yang mengetahuinya.”
Raden Admaja saling bersitatap dengan pengawal setianya beberapa saat.
“Kang Darsa ialah orang kepercayaan saya, Paman Mahapatih. Saya sangat menghargai dan mempercayainya seperti saya mempercayai nasib baik atau kasih sayang mendiang orangtua saya. Kang Darsa akan tetap di sini bersama kita. Lebih baik Paman menyampaikannya sekarang atau tidak sama sekali. Silahkan Paman Mahapatih yang menentukan sendiri.”