Pada akhirnya, yakni pada penghujung perang yang paling akhir bagi Raja Anggabaya sendiri ialah mendapatkan wilayah-wilayah penuh mayat yang bersimbah darah. Sedangkan bagi kerajaan-kerajaan kecil yang masih ingin bertahan, akan terus berperang dan berperang sampai tidak ada lagi yang tersisa. Melainkan kepulan asap dari gubuk-gubuk yang terbakar. Serta segerombolan burung pemakan bangkai yang pesta besar.
Hanya itulah yang tersisa. Sedangkan harga diri tiap kerajaan hanya berujung pada tulang belulang sanak saudara, teman dan rakyatnya yang tunduk di bawah kehendak hatinya. Menang jadi arang, kalah jadi abu.
“Kecuali,” Mahapatih mengangkat jari telunjuknya. “Raden membuat gerakan lebih dulu sebelum semuanya terlambat. Kalau tidak mau jatuh dalam kubangan perang yang tiada berujung.”
“Maksud, Paman? Apakah masih ada jalan untuk hal-hal buntu semacam ini?” tanya Raden Admaja menatap penuh harap.
“Tentu masih, Raden,” kata Mahapatih Wiratama menyunggingkan senyumnya. “Inilah tepatnya gagasan yang ingin saya sampaikan pada Raden. Yakni sebuah kesempatan yang saya sebutkan di awal tadi.”
“Apa itu, Paman?”
“Raja Anggabaya sepertinya belum tahu kalau kerajaan Jayakarta memiliki ahli waris yang jauh lebih sah. Yakni Raden sendiri. Kirimlah surat ke sana, Raden, sebelum terlambat. Katakanlah kepada Raja Anggabaya bahwa Raden sepenuhnya menyetujui peperangan melawan Raden Jayasena.”
“Kenapa harus begitu, Paman?”
“Karena itulah jalan satu-satunya Raden bisa mendapatkan dukungan penuh dengan kekuatan yang setimpal. Bahkan jauh lebih besar. Karena saya dan pengikut saya yang sebenarnya masih mendukung Raden, akan berbalik menyerang Raden Jayasena.”
“Lalu, Paman, bagaimana kalau Paman Jayasena-lah yang menang?”
Mahapatih Wiratama tersenyum lagi. “Raden, bagi kerajaan asing yang ingin menyerang lebih dulu di tempat yang tentu saja juga asing baginya, mendapatkan seluk beluk kerajaan yang akan diserangnya saja sudah menjadi kekuatan penyerangan yang sangat besar dan tidak tertandingi. Seperti misalnya, kita memberitahu letak perlengkapan senjata atau makanan. Dua hal penting itu saja sudah bisa jadi senjata. Atau tentang strategi perang, jumlah pasukan, wilayah-wilayah yang menjadi titik pertahanan atau pasukan-pasukan cadangan. Berita itu pun bisa menjadi bekal yang bisa kita tukarkan dengan sebuah kesepakatan. Sedangkan pihak kita, Raden, pihak ketiga, kita hanya akan menjalani perang secara semu. Kita hanya tinggal menunggu siapa yang menang dan siapa yang kalah. Bagi siapa saja yang menang, sekuat apapun mereka, mereka tidak akan bisa mengalahkan kita dalam kondisi kelelahan dan pertahanan yang lemah. Kita akan menyerang balik mereka. Dari situlah pihak kita akan muncul sebagai pemenang, Raden.”
Raden Admaja terdiam jauh lebih lama kali ini.
Apa yang dikatakan oleh Mahapatih Wiratama memang masuk akal. Namun, mengenai gagasan sebagai pihak ketiga dalam perang, yang menjalani perang dalam kesemuan dan tinggal menunggu waktu yang tepat kapan akan muncul, cukup mengganggu pikirannya. Karena itu tak ubahnya seperti burung-burung pemakan bangkai yang beterbangan di sekeliling tempat peperangan. Memperhatikan sambil menanti adanya mayat-mayat yang bergelimpangan.
Sekali lagi, gagasan ini terasa mengganjal dalam pikiran dan hati nuraninya. Tapi selain rasa yang tak enak itu, tidak ada jalan lain lagi yang sekiranya bisa menyelamatkan posisinya sebagai calon raja. Atau sekiranya, dalam perang itu sendiri memang diperlukan siasat-siasat tertentu agar bendera kemenangan bisa dikibarkan dari pihaknya .
Ya. Itulah perang. Yang tidak akan pernah lepas dari siasat, tipu muslihat dan kelicikan.