HUJAN DEWI BATARI

Call Me W
Chapter #22

WAJAH DI BALIK TOPENG

Dewi Batari memindahkan tubuh Darsa, Karta dan Kentus yang bersimbah darah dari atas tanah lembab hutan Kalasan ke permukaan air Telaga Wangi. Karena matahari tengah bersinar terik, pantulannya begitu silau dipandang mata. Oleh karenanya, Dewi Batari menciptakan awan-awan mendung yang menggelantung di langit-langit telaga bagai kubah melengkung. Menaungi permukaan telaga seumpama payung raksasa.

Sementara Dewi Batari mengobati luka-luka di tubuh Darsa dan Karta yang tidak sadarkan diri, tapi tidak bisa berbuat apa-apa pada Kentus yang sudah tidak bernyawa, Raden Admaja masih berdiri mematung dengan kepala menunduk. Dia tampak menekuri permukaan air telaga yang menampakkan raut wajahnya dan memantulkan awan mendung di atasnya. Namun, pikirannya sedang tidak ada di sana. Melainkan masih terjebak di dalam hutan Kalasan dengan suara hingar bingar pertempuran yang menyentak-nyentak gendang telinga. Peristiwa yang baru saja terjadi itu, tak ubahnya seperti awan-awan putih melayang di langit yang diubah begitu saja menjadi gumpalan awan mendung oleh Dewi Batari.

Ya. Tepat seperti itulah gambaran akan perubahan suasana hatinya. Karena baru saja mereka tergelak setelah mengerjai Kentus sambil menggigit daging kelinci panggang yang terasa manis dan gurih di mulut. Saat itu pula Kentus tersedak dan mengeluarkan darah segar dari mulutnya. Bahkan pengawal muda itu belum sempat mengunyah daging kelinci panggang yang diberikan padanya. Punggungnya telah tertembus sebuah anak panah. Tepat mengenai jantungnya dan nyaris menembus dadanya.

Bayang-bayang wajah Kentus yang terkejut dengan kedua mata membelalak, serta keluhannya yang mengatakan bahwa dia kesakitan, bermain dalam pikiran Raden Admaja. Menyakiti hatinya bak sembilu. 

“Raden?”

Raden Admaja tak menjawab, pun tak berpaling. Untuk pertama kalinya, suara itu terasa begitu sunyi dan hambar dalam hatinya. Karena hati dan pikirannya yang lagi-lagi belum bisa lepas dari dalam hutan Kalasan. Belum sama sekali terbebas dari bayang-bayang wajah Kentus yang meregang nyawa di pangkuannya. Di depan matanya!

“Mari, kita duduk dulu untuk membicarakan masalah ini,” bujuk Dewi Batari yang sudah duduk lebih dulu di atas permukaan air telaga. Menarik halus tangan Raden Admaja. Melalui sentuhan halus itu, Dewi Batari dapat merasakan tangan pemuda itu yang dingin dan kaku bak sebilah besi.

Lihat selengkapnya