Raden Admaja terdiam sampai beberapa saat. Kemarahan itu terasa memompa pembuluh darahnya lagi. Bayang-bayang wajah Kentus pun kembali berkelebat dalam benaknya. Menyesaki pikirannya. Tak lain karena dirinya sendiri yang baru mulai memiliki keberanian untuk melawan setelah kehilangan pengawal setianya itu.
Kenapa dia tidak memiliki keberanian seperti ini sejak dulu? Kenapa harus menunggu kehilangan lebih dulu baru merasa? Secara diam-diam, Raden Admaja mengucapkan kata maaf untuk pengawalnya yang telah berpulang itu dalam hati akan betapa lemahnya dia.
“Bagaimana kerajaan Pulau Seberang bisa bersekutu dengan Mahapatih Wiratama, Dewi?” tanya Raden Admaja.
Dewi Batari tersenyum lagi. “Beliau menjanjikan Panjenengan akan dijodohkan dengan Putri Adiratna, putri dari Raja Anggabaya.”
Raden Admaja tertawa kecil. “Lucu. Benar-benar lucu.”
“Apanya yang lucu, Raden?”
“Aku benar-benar tidak mengerti, Dewi. Jika Mahapatih Wiratama memang membuat janji semacam itu, tapi kenapa beliau malah ingin membunuhku? Katanya, Raja Anggabaya tidak tahu kalau ada putra mahkota di kerajaan Jayakarta.”
“Jika tujuan utama dari Mahapatih Wiratama ialah ingin menjadi seorang raja, lalu apalah jadinya jika Raden masih hidup? Lagi-lagi beliau akan tetap jadi seorang Mahapatih kan, Raden?"
Raden Admaja mengangguk pelan.