“Tidak, Raden,” geleng Darsa. “Saya belum mendapatkan kabar apa pun tentang Raja Anggabaya. Tapi, sepertinya saya setuju dengan pendapat Raden. Kalau tidak, mana mungkin Mahapatih Wiratama sampai mengirim putranya sendiri.”
“Tapi tetap saja, Kang. Kita harus mencari tahu kebenarannya. Karena pada masa mendatang, sesekali aku butuh berhubungan langsung dengan beliau. Meskipun Raden Ramayana bisa dipercaya dan berada di pihak kita, aku tidak mungkin mengutusnya untuk menyampaikan pesan atau surat yang berkaitan dengan ayahnya sendiri. Dan tidak mungkin pula dia tidak aku beritahu apa isi suratnya.”
“Bagaimana kalau saya mendapatkan orang kepercayaan Raja Anggabaya?”
“Jangan, Kang!” larang Raden Admaja tidak setuju. “Jangan mengambil resiko apa pun! Karena kita tidak pernah tahu, siapa saja orang-orang dari Pulau Seberang yang benar-benar mendukungnya atau hanya pura-pura.”
“Baik, Raden. Akan saya usahakan secepatnya.”
“Lalu, di mana pasukan ketiga akan bersembunyi sementara waktu?”
“Di balai kampung Purwosari, Raden.”
Raden Admaja membelalakkan matanya. Nama kampung itu terasa menghentak hatinya. “Apakah Setiowati dan Simboknya sudah mengungsi, Kang?” tanya Raden Admaja. Seketika itu tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir di wajahnya.
“Tidak, Raden. Karena kampung Purwosari jauh dari medan perang. Jadi, Raden tidak perlu khawatir. Saya sudah mencarikan pengawal yang akan berjaga-jaga di sekiling kampung Purwosari. Utamanya gubuk Mbok Dinah.”
“Terima kasih, Kang.”
Darsa hanya tersenyum mengiyakan. Kemudian kembali mengamati peta yang terbentang di atas meja. Tidak berselang lama sebelum keduanya kembali bercakap-cakap, terdengar suara seseorang mengetuk pintu bilik.
“Siapa?”
Raden Admaja memberi isyarat kepada pengawalnya agar segera menggulung peta yang terbentang.
“Karta, Den!”
Raden Admaja dan Darsa menghela napas lega.
“Masuk saja, Kang!”