Hari ke empat setelah aku melahirkan, Salman rewel. Dia menangis tanpa henti. Aku berikan ASI perah dia tak mau, coba disusui langsung malah tambah mengamuk. Aku dan Mas Faqih bingung, tak tahu lagi harus berbuat apa karena kami hanya bertiga saat itu. Kami tinggal di kontrakan petakan sedangkan orang tua kami tinggal di rumah yang berbeda. Jarak kontrakan kami dengan Ibu atau mertuaku sekitar empat kilometer. Sehingga kami memutuskan untuk tetap di rumah saja.
Kupegang dahi Salman, ternyata sangat panas. Di termometer terlihat suhunya mencapai 39 derajat dan terus meninggi sepanjang malam. Salman pun semakin rewel dan menangis kencang tanpa henti.
“Mas, gimana ini? Aku takut,” tanyaku pada Mas Faqih yang saat itu juga terlihat kebingungan.
“Kalau aku lihat di google sih katanya suruh skin to skin supaya panasnya turun,” jawabnya sambil melihat ke arah ponsel.”
“Apa itu skin to skin, Mas?” tanyaku kebingungan. Mas Faqih tidak menjawab, tetapi buru-buru melepas bajunya dan baju Salman. Kemudian Salman dipeluk olehnya sampai beberapa lama. Namun, setelah beberapa waktu melakukan skin to skin tersebut, keadaan Salman tak kunjung membaik. Panasnya semakin tinggi dan tangisannya yang lemah semakin menyayat hati kami. Karena panik, tepat pukul 12 tengah malam kami membawa Salman ke Rumah Sakit menggunakan taksi daring. Sepanjang jalan Salman terus menangis dan perutku juga masih terasa sakit. Saat itu aku merasa sangat lemah dan tidak memiliki kekuatan bahkan untuk menangis sekali pun.
Sesampainya di Rumah Sakit, Mas Faqih langsung mengurus administrasi dan perawat yang menerima kami menyarankan untuk memberikan ASI pada Salman agar demamnya turun. Namun Salman tetap saja enggan menyusu langsung. Akhirnya Salman terus di kompres air hangat sambil aku memompa ASI untuknya. Tak lama kemudian darah Salman diambil untuk pemeriksaan lebih lanjut. Mataku menghangat dan air mata pun turun perlahan ketika melihat bayi yang masih berusia tiga hari itu disuntik dan diambil darah. Malam itu tangisan Salman memenuhi ruangan sehingga semakin melemahkan hatiku.
Setelah drama pengambilan darah itu Salman terus dikompres oleh perawat. Alhamdulillah setelah dikompres beberapa kali panasnya berangsur turun dan tangisan Salman pun mereda. Setelah menanyakan banyak hal terkait kesehatan Salman dan memastikan Salman baik-baik saja, kami diperbolehkan pulang oleh perawat dan dipesankan untuk terus menyusuinya. Saat itu aku bingung, bagaimana aku mau menyusui dengan layak sedangkan Salman enggan menyusu langsung dan ASIku juga tak keluar banyak. Namun demikian aku hanya mengiyakan saja apa yang dikatakan perawat pada saat itu.
Keesokan harinya adalah jadwal kami kontrol ke dokter anak. Dokter anak melihat kulit Salman berwarna kuning maka salman diminta untuk cek darah lagi. Setelah hasilnya keluar Salman harus masuk ruang perawatan karena ternyata bilirubinnya tinggi. Saat itu rasanya hatiku hancur melihat bayiku yang masih lemah harus dirawat di ruang khusus. Ada rasa bersalah karena tak mampu merawatnya dengan baik.
Beberapa hari itu aku terlalu sibuk dengan salman sehingga sejenak melupakan benjolan yang dikeluhkan suamiku. Hingga suatu hari saat kami menunggu Salman di Rumah Sakit, aku menanyakan kembali perihal benjolan di lehernya itu.