Dua belas kali kemoterapi telah berhasil dilalui Mas Faqih dengan susah payah selama enam bulan lamanya. Selama melewati masa-masa itu kami saling menguatkan. Kami sangat percaya bahwa Allah Maha pengasih dan Maha Penyayang. Dia pasti tak akan dzolim dengan hambaNya. Aku percaya suamiku bisa sembuh dan aku lihat Mas Faqih pun semangat dalam menjalani pengobatannya walaupun efek kemo itu sangat menyakitkan. Mas Faqih jadi lebih mudah lelah, rambutnya rontok, dan badannya sering kesakitan. Pernah suatu hari tangan Mas Faqih melepuh karena efek obat kemo. Rasanya sangat perih melihat suamiku harus kesakitan seperti itu setiap hari.
“Mas, sabar ya .... Mudah-mudahan rasa sakit yang kita rasa saat ini bisa menggugurkan dosa-dosa kita,” ucapku suatu hari. Mas Faqih hanya mengaminkan lalu diam seribu bahasa. Semenjak sakit, Mas Faqih memang jadi lebih sering diam dan merenung. Tatapannya kosong, ucapannya terkadang ketus, dan jadi mudah tersinggung. Mas Faqih jadi benar-benar berubah. Lelaki yang lembut hatinya itu seolah menjadi sosok yang berbeda. Tak ada lagi keceriaan, canda tawa, dan obrolan receh di antara kami. Semua itu membuatku juga merasa frustrasi karena aku merasa sudah kehilangan suamiku padahal dia masih ada di sini, di sampingku.
"Kalau mendampingi orang sakit emang harus banyak sabar. Kita nggak tahu gimana rasa sakit yang dia rasa. Mungkin dia juga capek ngerasain sakit terus-terusan seperti itu," nasehat salah satu sahabatku ketika aku mengeluhkan sikap Mas Faqih yang berubah akhir-akhir ini. Aku hanya bisa bersabar dan terus berdoa semoga Allah mengangkat penyakit Mas Faqih dan mengembalikan ia seperti dulu lagi. Aku sungguh rindu dengan kehangatannya, dengan segala hal yang membuatku ceria. Meskipun demikian, Mas Faqih masih selalu suka untuk diandalkan. Aku sungguh sangat bergantung dengan beliau dalam hal apa pun. Aku jadi ingat, dulu ketika awal-awal kami menikah seringkali aku bangun lebih siang dari Mas Faqih. Ketika beliau sudah berangkat kerja aku baru bangun dan di meja sudah ada nasi uduk yang dibelikan Mas Faqih untukku. Ya Allah istri macam apa aku? Tidak hanya itu, Mas Faqih juga sangat suka memasak makanan untukku. Well, sebagai istri aku kurang suka memasak sedangkan Mas Faqih sebaliknya. Jadilah kami seperti bertukar peran. Jika akhir pekan tiba, seringnya Mas Faqih yang memasak dan aku hanya makan saja, astaghfirullah kalau ingat itu aku merasa berdosa, tetapi Mas Faqih nampak senang saja melakukannya. Hal itulah yang menguatkanku untuk mendampingi Mas Faqih meskipun kondisi fisik dan psikis beliau saat ini sedang tidak baik-baik saja. Aku tahu dia mencintaiku, sangat!
***
Setelah dua belas kali kemo, dokter meminta untuk evaluasi. Mas Faqih menjalani pemeriksaan rontgen dan sebagainya untuk mengetahui bagaimana kondisi sel kankernya. Namun, ternyata terlihat dari hasil rontgen sel kanker itu masih ada sehingga masih dibutuhkan radioterapi atau disinar. Mas Faqih pun menjalani radioterapi itu sampai enam kali. Aku kira efek radioterapi tidak separah efek kemo, tapi ternyata sama saja. Mas Faqih seringkali kesakitan, lemah, muntah-muntah setelah radioterapi itu. Sungguh masa-masa itu bukan hanya berat tetapi juga membuat kami merasa ingin menyerah. Kehadiran Salman sedikit banyak membuat Mas Faqih terhibur. Aku perhatikan Mas Faqih senang sekali memiliki Salman. Tak heran karena Salman adalah bayi yang kami tunggu-tunggu selama tiga tahun.
Ya, tak seperti pasangan lainnya yang setelah menikah langsung dikaruniai keturunan, kami harus menunggu tiga tahun lamanya sampai akhirnya Salman ada di rahimku. Banyak usaha yang telah kami lakukan saat itu agar aku bisa hamil. Mulai dari pijat perut tradisional, pergi ke pengobatan alternatif, minum herbal, makan kurma muda hingga program hamil ke dokter kandungan kami jalani. Oleh sebab itu Mas Salman sangat bergembira dengan adanya Salman saat ini.