Aku ingat betul, Dayana adalah salah seorang anak orang kaya yang tinggal di kota. Setiap keluarga dari kota itu datang ke desa kami, aku sering melihat Linbu Salasy bersikap ramah dan berusaha mengambil hatinya, tapi ditanggapi dingin oleh Dayana. Tanpa sengaja aku pernah mendengar perkataan Dayana yang lebih tajam dari perkataan Linbu Salasy, yang ditujukan kepada Linbu. Beliau diam saja, walau aku bisa melihat wajahnya yang ingin mengatakan sesuatu, tapi ditahan olehnya. Aku pura-pura tidak mendengar saat itu, karena aku tahu Linbu Salasy melirik ke arahku. Pulangnya aku bercerita kepada Umak dan beliau tersenyum puas, walau tidak berkata apa-apa.
Aku ingat pertama kali bertemu dengan gadis muda bernama Dayana. Umurnya lebih muda dari Umak, tapi dari penampilannya, bisa diketahui kalau beliau orang yang sangat kaya. Trend anjing kecil dengan pakaian-pakaian yang lucu, sudah diawali oleh Dayana, jauh sebelum trend itu mulai terdengar di televisi dan dunia. Sudah menjadi rahasia umum kalau Linbu Salasy mendapatkan diskon cukup besar, untuk mendapatkan tempat di acara CALADABI. Keluarga yang lain tidak terlalu mempermasalahkan karena mereka benar-benar mendapatkan banyak pemasukan setiap berjualan di acara CALADABI. Pengunjungnya banyak dan biasanya mereka tidak suka menawar terlalu rendah. Linbu Salasy mendapatkan banyak diskon karena berhasil membawa beberapa keluarga di desa ini, untuk ikut acara CALADABI.
Di acara CALADABI inilah aku mendapatkan banyak teman dari desa-desa yang berbeda. Kami akan sangat gembira saat bertemu, walau 6 bulan sekali dalam waktu 3 hari. Linbu Salasy pasti kesal kalau anak-anaknya mulai rewel. Biasanya Linbu akan meminta kami untuk mengajak anaknya main. Di hari terakhir kemarin, aku dan Boani sempat mendapat informasi yang mengejutkan terkait kejadian Tahte.
“Nanti mereka nangis kami yang disalahkan…” Linbu Salasy melotot ke arahku dan Boani bergantian.
“Aku akan menghukum mereka, kalau mereka menangis atau rewel.” Disitulah kesempatan untuk membalas perlakuan mereka yang mengesalkan selama ini. Hanya saja Umak bisa melihat aura jahil kami. Setiap Linbu Salasy menitipkan anaknya, beliau akan berkata…
“Jaga adik-adik kalian atau Umak akan menghukum kalian. Mereka masih kecil.”
“Tapi Umak, mereka menjengkelkan sekali…” Wajah Boani tampak geram.
“Oleh sebab itu, nasehati mereka dan didik mereka. Ajak bicara seperti orang dewasa.” Aku, Boani, Dolas dan Plita duduk berjejer di bangku Panjang. Aku dan Boani saling melirik tapi kami tidak berani berlaku nakal kepada kedua anak kecil menyebalkan ini. Kami yakin sekali, kalau Umak tahu semua hal, jadi percuma untuk berbohong.
“Dolas, boleh aku bertanya?” Dolas menoleh. Wajahnya memang lucu, tapi kelakuannya menyebalkan.
“Apakah kamu yang menyuruh Tahte mengambil mainan itu?” Dolas tampak berfikir sejenak.
“Iya kak…” Aku dan Boani saling melirik.
“Kenapa kamu tidak mengaku?” Dolas kembali berfikir.
“Tidak boleh sama Umak. Kata Umak, Tahte anak lelaki tapi kerjanya sedikit, lebih baik tidak usah ikut.” Bisa kulihat ekspresi kaget di wajah Boani, sama dengan yang aku rasakan. Kami terdiam cukup lama, tidak tahu harus berkata apa lagi.