Aku berusaha melihat orang yang membuat Dahkli Sema marah, tapi terhalang oleh punggungnya.
"Pergi kamu! enyah!" Orang yang dimarahi oleh Dahkli Sema terlihat berlari keluar dari pekarangan rumah. Aku sempat melihat wajahnya, sesaat sebelum beliau berbelok di tikungan, Dahkli Labuh, adik kandung Linbu Tuana.
"Ada apa, Sema? mau apa dia disini?" Linbu Putri memegang lengan kanan suaminya dan berusaha untuk menenangkan suaminya, dengan mengelus lengan kanannya.
"Orang tidak tahu malu, datang ke rumahku minta tolong lalu memojokanku." Linbu Putri seperti memberi kode kepada suaminya, kalau aku ada disitu. Dahkli Sema langsung terdiam.
"Sudahlah, tidak ada apa-apa. Ayo kita masuk ke rumah." Wajahnya berubah ramah saat melihatku. Aku kembali masuk ke dalam rumah Dahkli Sema dan duduk di ruang tamu. Linbu Putri mempersiapkan bahan masakan dan mulai memasak.
"Kamu bisa masak, Liata?" Dahkli Sema memandangi istrinya yang sedang masak dengan ekspresi kagum.
"Bisa Dahkli, tapi sesuai kebutuhan." Beliau tertawa mendengar jawabanku seraya menoleh ke arahku.
"Aku dengar kamu ingin sekolah?" Dadaku berdetak lebih cepat saat mendengar tentang sekolah. Sesaat aku pikir, aku sudah melupakan dan merelakan niatku sekolah yang tidak tercapai.
"Iya Dahkli, tapi anak perempuan tidak boleh sekolah." jawabku sedih.
"Bisa saja, kalau kamu punya ketrampilan khusus." sahut Linbu Putri. Perkataannya membuatku bingung sekaligus penasaran.
"Ketrampilan apa, Linbu?" Bau masakan yang ada di hadapanku, membuat mulutku basah. Rasanya ingin aku cicipi satu persatu makanan itu. Selesai Linbu masak, aku diantarkan pulang ke rumah oleh orang suruhan Dahkli Sema. Aku agak sedih karena tidak bisa mencicipi makanan itu, yang rasanya pasti sangat lezat.
"Umak, apakah perempuan bisa sekolah kalau punya ketrampilan khusus?" Umak sedang menggendong adikku yang sedang tidur.
"Siapa yang bilang?"
"Linbu Putri." Umak tertawa pelan dan terdengar sinis.