"Maaf saya menyela. Kalimat yang bapak tadi katakan memang benar, biar bagaimanapun hukuman ini terlalu ringan. Bagaimana kami tahu kalau anak ini menyesal?" Salah seorang keluarga korban tiba-tiba bicara. Suasana mendadak hening. Bisa kulihat wajah Aklo Amal yang terlihat sangat tegang. Lindung mengangkat kepalanya dan berkata dengan suara lirih.
"Aku menyesal Dahkli, sangat menyesal. Aku bersungguh-sungguh. Tolonglah aku, aku sangat takut. Maafkan aku." Mereka saling melihat satu sama lain.
“Bukankah Lindung tidak sendiri saat dia membakar perkebunan?” Salah seorang keluarga korban kembali bersuara.
“Teman-temannya sudah dibawa ke kota untuk diadili, mereka sudah sering melakukan keonaran di desa kita.” Jawab keluarga korban yang lain. Suasana hening sejenak.
"Setidaknya orang tua bertanggung jawab terhadap anaknya. Orangtuanya juga harus diusir dari desa kita." Mereka kembali saling pandang dan mengangguk-angguk. Dahkli Labuh berjalan mendekat dan akan mengatakan sesuatu, tapi ditarik bahunya oleh Dahkli Sema.
"Masalah ini dianggap serius, bahkan oleh keluarga Jemal, Amal dan Uhsan." Penduduk desa tampak terkejut saat mendengar nama Akloku di bawa-bawa.
"Aklo Uhsan, apa boleh aku menyebut namamu?" Akloku melambaikan tangannya dari luar.
"Silahkan Sema, lakukan sesuai kebijaksanaanmu."
"Ada 2 orang yang akan pergi dari desa, Lindung dan juga Liata." Aku tersedak dan batuk-batuk, saat mendengar namaku disebut.
"Biar bagaimanapun Aklo mereka keluarga sedarah bukan? kesalahan ditanggung bersama." Dahkli Labuh dan Aklo Amal tampak bingung dengan perkataan Dahkli Sema.
"Bagaimana Liata, kamu mau menolong sepupumu?" Dahkli Sema menatapku sambil tersenyum.
"Saya mau tinggal dimana Dahkli? rumah saya hanya disini."
"Kamu akan tinggal di asrama sekolah, bersama dengan Lindung. Kalian tidak boleh kembali ke desa ini, sampai umur kalian mencapai 14 tahun, baru bisa datang lagi. Bagaimana, setuju?" Dua keluarga korban mengangguk, tapi yang satunya masih ragu.
"Lagipula dia masih anak-anak, pasti dia menderita harus jauh dari orangtuanya bertahun-tahun. Berilah dia kesempatan." Salah satu keluarga korban ikut membujuk. Akhirnya satu orang yang tampak tidak setuju, mengangguk juga.
"Bagaimana Liata, Lindung, kalian setuju?" Lindung langsung mengangguk kuat-kuat dan aku mengangguk pelan, masih ragu kalau impianku akan segera terwujud.
"Aklo Amal, bagaimana?" Aklo Amal mengangkat wajahnya.
"Terima kasih Liata, kamu mau menolong sepupumu." Aklo Amal menghapus airmatanya.