Rinpo tidak memperdulikan pandangan sinis dari orang-orang yang ada di tempat itu. Mengisi perut, itu saja tujuannya datang ke tempat ini. Uangnya kali ini hanya mampu untuk membeli secangkir kopi, setidaknya bisa menahan rasa lapar untuk beberapa jam. Pemimpin kampung yang biasanya memakai jasa ‘kejahatan’nya, sekarang malah bersikap memusuhi. Orang-orang disini memang sudah tidak suka dengan keberadaannya, tapi mereka tidak seagresif warga di desa sebelumnya, sehingga Rinpo memutuskan untuk bertahan dan tidak perduli dengan sikap memusuhi mereka.
“Rinpo, kamu tidak pernah datang lagi ke tempatku.” Tiba-tiba seorang wanita muda, tanpa malu duduk di samping Rinpo dan tidak menutupi sikap mesranya.
“Nanti malam ya.” Wanita itu memukul lengan Rinpo dengan gaya manjanya.
“Selalu bilang ‘nanti malam’, tapi tidak pernah datang. Mungkin kamu harus aku ikat supaya tidak pergi lagi.” Rinpo hanya tersenyum tipis. Perutnya terasa sakit karena seharian tidak makan, tapi meminta tidak ada dalam kamusnya.
“Ini, aku bawakan makanan kesukaanmu.” Rinpo melirik sekilas dan pura-pura bersikap acuh.
“Aku harus bekerja, jangan lupa nanti malam datang ke tempatku.” Saat wanita itu pergi, Rinpo langsung mengambil makanan yang tadi diberikan padanya dan langsung meninggalkan warung kecil itu. Di tempat yang sepi, Rinpo makan dengan rakusnya. Masakan wanita muda tadi sangat buruk, tapi dirinya sudah sangat kelaparan dan tidak perduli sama sekali. Sesekali dia ingin muntah, tapi akhirnya semua makanan itu masuk ke dalam perutnya.
“Sedang apa kamu disini?” Rinpo menoleh ke sumber suara. Seorang lelaki dengan wajah masam, sedang berdiri dengan gaya angkuhnya.
“Kamu belum membayarku.” Lelaki itu masih berhutang pembayaran pekerjaan pada dirinya. 2 bulan yang lalu, dirinya mendapat tugas untuk meracuni hewan ternak musuhnya.
“Pembayaran untuk apa? Aku tidak pernah mempekerjakanmu. Jangan fitnah aku lagi tentang kematian ternak Bulolan, atau aku adukan kamu ke polisi kota.” Rinpo meludah ke arah lelaki itu lalu pergi meninggalkannya. Dia tidak menyadari ada sepasang mata yang terus mengawasinya sejak tadi.
“Awas, kamu jangan dekat-dekat dia…” Seorang ibu menarik tangan anaknya menjauhi Rinpo. Rinpo tidak memperdulikan bisik-bisik tadi dan terus melanjutkan perjalanan. Dia harus bertemu dengan kekasihnya.
“Vios ada?” Penjaga rumah yang ditegur Rinpo, tampak kaget dan mulai khawatir saat dia tahu siapa yang menyapanya.
“Neng Vios tidak ada, pak.” Rinpo berusaha melihat ke dalam rumah. Sudah 3 bulan dia menjalin hubungan dengan anak kepala kampung dan inilah awalnya, kepala kampung mulai membencinya dan tidak pernah memberikan pekerjaan lagi pada dirinya.
“Jangan bohong kamu, Vios ada di dalam?” Seorang lelaki berbadan kekar, keluar dari dalam rumah dan mendekati Rinpo.
“Sudah, jangan cari gara-gara lagi. Kamu sudah paham dengan situasinya kan?” Terakhir kali, Rinpo pernah dihajar habis-habisan oleh orang ini, Balad. Rinpo tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia hanya mengumpat lalu pergi dari rumah kepala kampung. Balad hanya geleng-geleng kepala, lalu kembali masuk ke dalam rumah.
“Rinpo, Rinpo…” Seorang wanita berlari-lari kecil ke arah Rinpo.
“Kamu kemana saja?” Segera dipegangnya lengan kanan Rinpo. Dia berusaha menarik tangannya, khawatir kalau Vios akan melihat adegan ini. Vios sangat mudah emosi dan kesempatan untuk memiliki hidup yang lebih baik, bisa hilang.
“Mau apa kamu!” Rinpo kembali menarik tangannya dengan kasar. Wanita itu tampak terkejut lalu wajahnya berubah menjadi kesal.
“Oho…sombong sekali kamu sekarang. Kamu lupa dulu sering mengemis uang kepadaku.” Wanita itu memandang Rinpo dengan geram, seraya tersenyum sinis.
“Kamu pikir, kamu bisa menikahi nona besar? kamu bermimpi Rinpo. Levelmu tidak sama dengan nona kaya itu. Levelmu sama denganku.” Wanita itu berusaha untuk meraih lengan kanan Rinpo Kembali, dengan cepat Rinpo menghindar.
“Apa maumu? katakan saja.” Rinpo dipandangi lama-lama lalu dia mulai berkata sinis.