Kegiatan Bumi Kemasil dilakukan serentak di desa-desa yang saling berdekatan. Suasana sangat ramai dan meriah, semua sudah bersiap dengan posisinya masing-masing. Dipilihnya perwakilan 5 orang untuk membawa hasil panen di atas kepala, lalu mereka akan jalan sambil berjongkok menuju ke rumah kepala kampung. Keluarga Fundah sudah siap dengan baju-baju mereka yang terkesan mewah. 5 orang yang dipilih adalah 1 orang sepuh, 2 orang setengah baya dan 2 orang remaja. Dila merasa hatinya berontak, saat melihat tetangganya yang sudah sepuh, berjalan dengan susah payah menuju keluarga Fundah yang sudah menanti. Ditahan perasaannya, saat melihat yang mengambil hasil panen itu adalah anak tanggung remaja, dengan sikapnya yang sombong dan agak sedikit kasar. Orang yang sudah sepuh harus menunduk di depan anak tanggung remaja. Dila melihat Lesya yang sedang memandanginya dengan tatapan curiga. Dirinya selalu senang melihat Lesya, karena banyak rencana untuk mempermainkan dia, selalu muncul begitu saja di kepalanya. Dila berusaha untuk tetap fokus dengan rencananya dan bersikap hati-hati.
Sebelum acara selesai, kepala kampung maju ke depan dan berkata ingin mengumumkan sesuatu. Semua warga desa yang berkumpul, bergerak mendekati rumah keluarga Fundah. Setelah kepala kampung berbicara Panjang lebar ke sana sini, akhirnya dia mulai masuk ke pokok pembicaraan.
“Dua hari lagi, kita akan mengumpulkan dana untuk membangun sebuah tugu peringatan di desa ini. Semua desa tetangga juga akan melakukan hal yang sama. Tugu ini nanti akan ada sebuah ruangan, untuk menyimpan barang-barang bersejarah dari desa kita dan menjadi sebuah pengingat untuk keturunan kita nanti.” Warga desa mulai berbicara satu sama lain. Mereka merasa resah karena panen mereka yang terakhir tidak terlalu baik.
“Saya paham kalau hasil panen terakhir tidak memberikan hasil yang bagus, oleh sebab itu, siapa saja bisa menyumbangkan tenaga untuk pembangunan tugu, juga bisa ikut bekerja di beberapa usaha saya.” Dila sudah menduga, keluarga itu sedang mencari pekerja untuk dibayar dengan harga murah, bahkan seadanya.
“Baiklah, saya rasa sekian dari saya dan silahkan nikmati jamuan makannya.” Perhatian warga desa seolah teralih oleh acara jamuan makan, yang pembayarannya diambil dari kas desa.
“Manusia tidak tahu malu, datang juga akhirnya kamu ke acara ini. Kamu ingin makan-makan gratis?” Lesya sudah berdiri di hadapan Dila dengan sikap arogannya. Dila memulai aktingnya.
“Kamu baru renovasi rumah?” Lesya heran dengan pertanyaan Dila.
“Hm..ya, kenapa?” Dila berdecak kagum.
“Luar biasa…luar biasa…”Dila bertepuk tangan. Lesya mulai curiga dengan tingkah laku Dila yang tampak aneh.
“Apa maumu?” Dila hanya tersenyum lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Beberapa kali, Dila bertingkah seperti sedang mencari seseorang.
“Hai, dengarkan aku. Kamu tidak bisa menipuku dengan status guru bergengsimu itu. Sudah aku duga, pasti kamu membayar untuk menjadi guru di sana.” Dila kembali melirik ke sana ke mari, seolah dia tidak mendengarkan perkataan Lesya.
“Dila, kamu dengar!” Dila kaget juga mendengar jeritan Lesya.
“Eh ya, ada apa?” Lesya memandangi Dila cukup lama.
“Kamu dengar apa yang aku bilang?”