Rinpo dan saudara-saudarInya, berhasil mengambil surat itu dari bank. Mereka mulai menghubungi pengacara dan membawa persoalan itu ke pengadilan. Setelah perdebatan yang cukup panjang, akhirnya keluarga Gasmana sepakat untuk mengambil hak mereka secara bertahap. Bisnis keluarga Fundah langsung hancur dan berdampak juga kepada pemimpin-pemimpin kampung yang lain. Jalur distribusi hasil panen, antara Gloman dan Duska semakin kuat dan berkembang, hingga akhirnya kepala kampung mengalah dan menyerahkan semuanya kepada warganya. Ada kepala kampung yang diusir dari desanya, karena mereka sudah sangat dendam dengan kepala kampungnya, tapi ada juga yang dibiarkan tinggal oleh warganya, dengan kehidupan yang pas-pasan. Tasa langsung diangkat menjadi kepala kampung yang baru, menggantikan keluarga Fundah. Keluarga Gasmana berusaha untuk menjadikan diri mereka kepala kampung, menggantikan keluarga Fundah, tapi mereka kalah suara. Keluarga Gasmana mulai semena-mena karena uang mereka banyak dan Gloman meminta kepada Tasa untuk mengabaikan saja mereka. Gloman punya rencana yang lain. Gloman kembali mengajak Dila dan Lara, untuk rapat di tempat biasa.
“Rencana kita sudah berhasil, lebih cepat dari waktu yang aku perkirakan.”
“Lalu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” Gloman berfikir sambil menggigit kue yang dibawakan oleh Dila.
“Ekonomi di desa-desa sudah mulai meningkat. Sudah tidak ada lagi monopoli. Kita harus fokus untuk membangun sekolah di desa kita.” Dila dan Lara mengangguk-angguk.
“Kita perlu investor untuk membangun sekolah kita yang pertama. Kalian ada ide?” Tanya Gloman. Lara langsung menepuk bahu Dila.
“Aku punya berita baik untukmu, Gloman. Dila dididik langsung oleh kepala sekolah, untuk mencari investor dan membuat laporan-laporan. Sekolah pertama kita pasti berdiri.” Lara terlihat bangga sekali dengan temannya.
“Aku lega mendengarnya. Kalian sudah membantuku mencapai apa yang aku cita-citakan, aku pun akan membantu kalian mewujudkan impian kalian. Hanya aku kurang paham untuk urusan membangun sekolah dan mencari investor.” Gloman garuk-garuk kepala dengan wajah malu.
“Tidak apa-apa Gloman, aku punya beberapa investor dari kota, yang akan dengan senang hati membantu membangun sekolah pertama kita. Hanya untuk posisi sekolah itu, tidak bisa dibangun di desa kita.”
“Kenapa?” Tanya Gloman.
“Mereka ingin agar sekolah itu dibangun dekat dengan kota, agar memudahkan bagi mereka untuk mengawasi dan memperhatikan kualitasnya. Mereka ingin membuat sekolah asrama pertama untuk pria. Bagaimana menurut kalian?” Dila menatap kedua temannya bergantian.
“Lalu bagaimana dengan janji kita kepada warga desa, untuk membangun sekolah kalau kuota jual beli bisa dipenuhi?” Dila tampak bingung dengan pertanyaan Lara.
“Bukan persoalan yang sulit. Kita bisa mendirikan sekolah umum di desa-desa dan meminta mereka, untuk membantu pembangunan sekolah itu.”
“Apakah mereka mau? Kita sudah janji membangun sekolah untuk mereka?”
“Tenang saja, kita pasti akan mendirikan satu sekolah untuk mereka, guna memenuhi janji kita. Setelah mereka kita didik, lambat laun kita harus membiarkan mereka mandiri. Kalau mereka sudah kuat, aku rasa tidak akan ada masalah.” Hibur Gloman.