Saat aku dan Selena bercerita kepada Ura, betapa kami mengidolakan Linbu Dila, Lara dan Dahkli Gloman, Ura tampak terkejut dan tertawa geli.
“Ura juga pernah seperti kalian. Ura bertemu idola dari remaja dan mendadak tidak bisa bergerak. Orang itu sampai heran melihat Ura dan menganggap Ura orang yang aneh. Ura malu sekali saat itu.” Aku dan Selena tertawa.
“Ura, kapan-kapan kita mau ketemu lagi dengan Linbu Dila dan Lara.” Selena memelas,
“Dahkli Gloman juga, dia orang yang sangat pintar dan cemerlang.” Tambahku.
“Sekolah kalian itu milik mereka. Ura dengar, bulan depan mereka akan datang ke sekolah.” Aku dan Selena menjerit bersamaan. Tawa Ura semakin kencang. Beliau tampak senang melihat betapa bersemangatnya kami.
“Selena, kita harus menyiapkan 10 pertanyaan.”
“Tidak, tapi 100 pertanyaan…” Saat kami kembali ke sekolah, Hakbo Selena tampak heran, melihat kami sangat akrab dan ceria bersama Ura.
“Hakbo, kapan akan menikahi Ura.” Hakbo Selena langsung batuk-batuk saat mendengar pertanyaan Selena, saat makan malam berempat. Ura hanya senyum-senyum sendiri.
“Kalian tidak boleh lagi memanggil nama Ura, dia lebih tua dari kalian. Panggil Linbu Ura.” Hakbo Selena mengingatkan kami. Dengan ekspresi wajah usil, Selena menunggu hakbonya untuk minum.
“Kalau aku, panggil umak saja.”
**
Hari ini kepala sekolah memanggil aku, Selena dan Lindung ke kantornya. Wajah kepala sekolah tampak tegang dan kami saling melirik. Apakah kami melakukan kesalahan?
“Bagaimana dengan pelajaran kalian, masih bisa mengikuti?” Kami mengangguk bersamaan.
“Masih, kepala sekolah.” Kepala sekolah menarik nafas panjang.
“Saya punya kabar yang kurang enak…” Secara bersamaan, kami memajukan badan kami.
“Lindung, Umak kamu kemarin tiba-tiba pingsan di rumah dan sekarang masih koma.”
--
“Pak Kepala sekolah, Umak Lindung sekarang ada dimana?” Suara Lindung terdengar bergetar.