Kadang-kadang aku masih merindukan Selena. Mungkin sekarang dia sedang berbahagia dengan Hakbo dan Ura. Aku juga senang dengan kehadiran Umak disini dan kadang-kadang saudara-saudariku bergantian datang menginap. Aku seperti beradaptasi lagi dengan Umak, setelah 5 tahun tidak tinggal serumah. Umak masih seperti dulu, lembut tapi juga galak. Lindung sudah lebih dahulu kembali ke Ladang Jahut, bertemu dengan Hakbonya dan mendatangi rumah keluarga korban. Bahkan Lindung sempat memasak di sana. Lindung yang sekarang banyak disayang orang, sampai orang-orang di desa tidak percaya dengan perubahan Lindung, yang dulu mereka hindari dan benci. Semasa Lindung sekolah, dia bilang kalau Dahkli Sema meminta dia belajar bela diri, ternyata ada gunanya juga. Saat teman-temannya yang dulu, ingin memaksa Lindung ikut lagi dengan mereka, Lindung menghajar mereka sampai babak belur. Mungkin semua adalah dari rasa sedihnya harus jauh dari Umaknya. Tidak ada warga desa yang membela pemuda nakal itu, mereka malah tampak senang Lindung menghajar mereka. Misi utama Lindung saat pulang ke desa, dia ingin mengajak semua keluarganya untuk mempersiapkan acara adat untuk memperbaiki hubungan dengan keluargaku. Melihat pengorbananku yang diusir juga dari kampung, karena sama-sama menanggung kesalahan Lindung, keluarga yang lain tidak banyak bicara dan langsung menyetujui rencana itu, terutama Aklo Amal. Beliau sampai berurai airmata saat mendengar rencana Lindung. Hakbo Labuh tidak berkata apa-apa, mungkin masih ada rasa ingin menolak, tapi dirinya sudah semakin tidak berdaya dengan sakitnya. Lindung cerita kepadaku, kalau malam sebelum dia kembali ke sekolah, Hakbonya hanya berkata…
“Jalani hidupmu dengan baik. Kelak Hakbo pergi bertemu Umak, jaga semua keluargamu.” Lindung memeluk Hakbonya, yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya, sambil bercucuran airmata.
“Maafkan kalau Hakbo kurang mengajarkan kamu hal-hal yang baik. Hakbo tidak tahu bagaimana caranya menjadi orangtua yang baik.” Perkataan Hakbo, semakin membuat hati Lindung seperti tersayat-sayat. Airmatanya semakin deras
“Hakbo sudah menjadi orangtua terbaik di dunia.” Seminggu setelah Lindung kembali ke sekolah, Hakbo menyusul umaknya. Kali ini Lindung tampak lebih tegar, dibandingkan dulu saat kehilangan umaknya.
Umak sudah beberapa kali menyuruh aku kembali ke desa, tapi masih aku tunda-tunda. Aku tidak tahu kenapa aku ragu sekali untuk kembali ke desa. Libur berikutnya, dengan tegas Umak meminta aku pulang, Hakbo menjemputku. Saat aku melihat gerbang perbatasan desa, tiba-tiba saja aku menangis. Saat aku melihat gerbang desa, yang terakhir kali aku lihat 5 tahun yang lalu, aku baru sadar betapa aku sangat merindukan desa ini. Aku melihat keluar jendela mobil, aku ingat setiap kejadian di setiap sudut desa, saat aku masih kecil, saat kami tergesa-gesa menuju acara CAMAMAK, saat aku bertengkar dengan Boani dan saat aku diantar pergi untuk bersekolah. Waktu berlalu begitu cepat dan aku hanya bisa termenung mengingat itu semua.
“Kita mampir dulu ke rumah Dahkli Sema. Dahkli sudah punya 2 orang anak.” Aku menoleh ke arah Hakbo.
“Betul Hakbo? aku tidak sabar ingin bertemu dengan mereka. Aku juga rindu dengan Linbu Putri.” Saat aku bertemu dengan Linbu Putri, beliau langsung mengenali aku.
“Liata, sudah lama kita tidak bertemu. Ini anak-anak Linbu, Namanya Yian dan Olju.” Anak mereka sepasang, perempuan dan laki-laki. Aku langsung bermain dengan mereka. Aku merasa ada yang sedikit aneh dengan Linbu Putri, tidak secerah terakhir kali aku bertemu. Saat pulang ke rumah, Hakbo cerita kalau Linbu terkena virus saat menolong korban banjir di desa sebelah. Hampir setiap minggu, Dahkli dan Linbu pergi ke kota untuk berobat.