“Siapa dia, Boani?” Teman-temannya berbisik-bisik dengan Boani.
“Dia kakakku, si paling pintar di keluarga.” Teman-teman Boani tampak terkejut.
“Wah, ini kakakmu yang namanya Liata itu. Ayo kak, masuk kesini.” Aku pura-pura ingin masuk lewat jendela,
“Jangan kak, lewat pintu depan!” Teman-temannya berseru secara bersamaan. Boani tampak kesal dengan tingkah konyolku.
“Tidak punya etika…” Boani geleng-geleng kepala. Tawaku hampir tersembur keluar tapi kutahan.
“Maaf…maaf..” Aku senyum-senyum ke arah mereka.
“Kakak Liata suka bercanda.” Aku segera berjalan ke pintu depan.
“Kalian sedang bikin apa disini?” Kami duduk di lantai, membentuk lingkaran.
“Bulan depan ada bersih-bersih desa, karena tahun lalu banyak warga yang sakit. Menurut orang dari kota, lingkungan desa kita harus sering dibersihkan.” Aku mengangguk-angguk.
“Linbu Putri juga sakit, kak. Kasihan ya..” Teman-temannya Boani tampak sedih.
“Jadi setiap 3 bulan sekali, kita akan bersih-bersih desa secara masal. Boani yang punya ide ini dan banyak warga desa yang akan membantu. Kalau kakak libur, nanti ikut bersih-bersih desa sama kami ya.” Aku mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Kakakku sibuk, dia tidak akan sempat.” Sahut Boani ketus.
“Sempat dong, nanti disempatkan. Kapan acaranya?”