Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan membantu Umak memasak. Aku senang bisa berkumpul lagi dengan keluargaku, tapi disisi lain, aku khawatir akan masa depanku. Bukankah keinginan kuatku untuk pergi ke sekolah, salah satunya agar bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik untuk aku dan keluargaku?
Sesekali aku bisa merasa umak yang melirik ke arahku diam-diam, dengan ekspresi khawatir.
Setiap aku terdiam dan mulai termenung, Boani akan mulai mencari cara untuk mengalihkan dari kesedihanku. Entah dengan ceritanya yang lucu atau bertengkar denganku, kalau dia sudah kehabisan ide.
---
Di suatu siang, Plona duduk di sampingku dan meminta untuk mengajari dia ilmu-ilmu yang kupelajari di sekolah. Aku merasa cukup heran, karena setahuku Plona tidak terlalu suka pergi ke sekolah, tapi tidak berani melawan perintah umak dan hakbo.
Ada di suatu masa, Plona sering menangis saat akan berangkat ke sekolah, karena hari itu ada tes atau karena tugas yang belum selesai. Hingga suatu hari, Tahte merangkul Plona dan mengajaknya berbicara berdua, agak lama. Akhirnya Plona berhenti menangis dan sejak itu, tidak pernah lagi aku lihat Plona menangis saat akan berangkat ke sekolah. Entah apa yang Tahte katakan kepada Plona, dia tidak mau memberi tahu, walau Boani berusaha mengorek informasi dengan berbagai cara.
"Kamu bukannya tidak terlalu suka belajar hal-hal formal, Plona?"Plona menyodorkan sepiring kacang rebus, yang tadi dia rebus sendiri di dapur. Segera aku ambil, karena aku suka sekali kacang rebus.
"Aku bukannya tidak suka belajar, tapi, aku sering merasa lelah harus membaca buku. Aku suka diceritakan, lebih cepat masuk ke dalam kepalaku ini."Aku mengangguk-angguk.
"Ooooh, berarti hanya cara belajarnya saja...."Plona mengangguk.
"Kalau di sekolahku, jarang sekali guru-guru mau bercerita. Lebih banyak disuruh membaca lalu memberikan tugas yang banyak. Ceritakan kepadaku, apa yang sudah kamu pelajari di sana?"
"Banyak. Apa yang ingin kamu ketahui?"Plona tampak berfikir.
"Lindung pernah bicara tentang internet, kita bisa terhubung dengan orang-orang dari tempat yang berbeda, di seluruh dunia. Bagaimana caranya?"
"Mengenai internet, aku jadi ingat sesuatu. Dahkli Sema akan membeli beberapa unit komputer dari kota dan akan ditaruh di balai desa. Aku akan mengajarimu tentang komputer. Mau?" Kedua mata Plona tampak berbinar-binar.
"Tentu saja aku mau,..." Plona terdiam sesaat, "Apakah komputer itu tempat orang di seluruh dunia berkumpul? Bagaimana caranya?" Aku tertawa geli.
"Bukan, komputer itu adalah mesin, seperti mesin mobil juga. Sabarlah, saat komputer sampai di desa kita, aku akan mengajarimu sampai bisa." Plona tampak sedikit ragu,
"Apa yang bisa aku ajarkan kepadamu?" Tanya Plona. Terdengar suara Hakbo memanggil Plona.
"Ajari saja aku tentang mesin mobil." Plona mengangguk setuju.
"Iya Hakbo, aku datang!" Plona bergegas mendatangi Hakbo dan membantunya memindahkan meja besar, yang baru selesai dibuat oleh Hakbo dan Tahte.
---
Plona dan Tahte memiliki karakter yang bertolak belakang. Tahte lebih tegas dan suaranya lebih keras, sedangkan Plona lebih lembut, baik dari sikap maupun suara. Sikap Plona yang pemalu, sering membuat umak khawatir dan selalu mengingatkan Tahte untuk menjaga adiknya, terutama saat umak tahu kalau Plona beberapa kali diganggu oleh pemuda-pemuda nakal di desa mereka.
"Umak, ayo kita berangkat, nanti kesiangan. Hakbo, ayo cepat, aku ingin pergi dengan mobil." Pagi-pagi sekali, suara Boani sudah menggema di seluruh sudut rumah. Hakbo tampak terburu-buru masuk ke dalam kamar mandi dan Umak tampak sibuk menyiapkan bekal makanan.
"Ada apa, Umak?" Aku berdiri di samping Umak, sambil ikut memasukkan nasi ke dalam kotak makanan.
"Boani ingin survey tempat liburan keluarga." Aku mengernyitkan dahi.
"Liburan keluarga? keluarga siapa, umak?" Umak tertawa geli,
"Keluarga kita." Tiba-tiba saja Boani sudah berdiri di sampingku.
"Aku sudah menyiapkan acara penting, liburan keluarga. Nanti kamu harus melakukan upacara membuang kemuraman dan kesialan di sana." Boani berbicara sambil bertolak pinggang.
"Umak?" Aku protes kepada umak, tapi hanya disambut dengan senyuman lebar.
"Aku memang bukan wanita paling tua di rumah ini, tapi pengetahuan dan hubungan kekerabatanku lebih luas dari kamu, Liata. Suatu hari nanti, kamu akan meminta nasehat adat dariku." Boani tersenyum bangga, seraya merapikan rambut panjangnya.
"Tidak usahlah, aku akan tinggal di rumah saja. Tidak perlu ikut-ikut acara adat, apalagi CAMAMAK." Boani tersenyum sinis ke arahku,
"Oooo, selama aku masih hidup, aku pastikan kamu akan selalu mengikuti acara adat. Aku ini penerus umak, tapi lebih tegas."