Beonsa bergegas menyambar kain putih panjang yang terletak rapi di dalam lemari. Beberapa pekerja segera menutupi piring-piring yang berserakan, dengan kain putih tersebut. Dayana tersadar dari keterpakuannya dan bergegas membantu merapikan piring-piring yang berserakan.
"Berdiri dan duduklah di sebelah Linbu Gora, pekerja terakhir sudah masuk, tugasmu sudah selesai." Dayana menuruti perkataan Beonsa dan bergerak mendekati tempat duduk di samping Linbu Gora.
"Rekan-rekan, ini adalah Dayana, anak dari kekua Minji. Dia akan sering mewakiliku ke tempat kalian." Seorang lelaki yang masih muda dengan rambutnya yang berwarna coklat, berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah Dayana. Dayana hanya menyambutnya dengan anggukan sopan.
"Maaf, saya tidak berjabat tangan." Lelaki muda itu tersenyum mengerti dan menarik kembali tangannya.
"Nama saya, Beum, sering-seringlah datang ke desaku, aku akan menjamu dirimu dengan baik." Dayana langsung tertarik dengan senyuman dan tatapan mata Beum yang lembut. Di kemudian hari, Beum akan menjadi cinta sejati Dayana.
"Ehem, nama saya Smud, Linbu Gora berjanji kalau projek berikutnya adalah di desaku." Lelaki itu tersenyum lembut sambil matanya melirik sekilas ke arah Linbu. Sepertinya dia tidak berusaha menutupi rasa tidak suka nya kepada Linbu Gora.
"Sabarlah, semua pasti akan mendapatkan giliran..." Linbu Gora tersenyum bijak ke arah Smud, yang disambut dengan senyuman sinis. Linbu Gora segera menghentikan orang-orang yang akan berjalan mendekati Dayana.
"Silahkan menikmati hidangan yang telah tersedia, setelah ini akan kita lanjutkan dengan pembicaraan bisnis yang menarik." Semua tamu saling berpandangan, tersenyum dan mengangguk-angguk.
**
Hari pertama Dayana tinggal di rumah Linbu Gora. Matanya sulit untuk dipejamkan dan hatinya merasa tidak nyaman tinggal di rumah itu. Dia khawatir dengan keadaan umak-nya kalau dirinya tidak ada di rumah. Suasana kamar yang agak remang-remang, membuat dirinya semakin tidak nyaman dan sedikit takut. Biasanya dia tidak tidur sendiri, tapi bersama umak dan saudara kandungnya. Akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari kamar dan duduk di taman kecil, yang tadi sempat dia lihat saat menuju ruang makan. Dengan berjinjit, Dayana berjalan melewati beberapa kamar, ruang makan dan dapur. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya saat dia melihat taman itu, foto ibunya dan seseorang yang tidak bisa dia lihat dengan jelas. Sesampainya di taman kecil, Dayana memperhatikan foto-foto yang ditempelkan di tembok taman. Hanya beberapa orang saja yang dirinya kenali, terutama wajah umak-nya. Di dekatkan wajahnya ke foto umak dan berusaha untuk mengingat-ingat, siapa sosok bertubuh tinggi langsing dengan ekpresi wajah dingin tanpa senyum, yang berdiri sambil menggendong seorang bayi, di samping umaknya. Melihat dari kalung yang dikenakan bayi itu, dia mengira-ngira kalau bayi itu adalah dirinya. Mereka memiliki kalung yang sama. Bayangan-bayangan yang ada di taman itu, membuat Dayana takut, sehingga dia memutuskan untuk kembali ke kamarnya.
Keesokan harinya, Dayana berusaha menanyakan tentang pria tinggi langsing yang fotonya dia lihat di taman tadi malam. Mereka sedang berjalan berdua menuju sebuah pasar yang ada di desa Ladang Jahut. Hanya ada satu orang penjaga yang mengawal mereka.
Linbu Gora terdiam sesaat lalu menatapnya sambil tersenyum.
"Dia adalah adik ibumu, tapi tidak ada yang tahu keberadaannya saat ini." Dayana tampak tertarik dengan berita yang baru saja dia dengar. Mengapa umak tidak pernah membicarakan tentang adik laki-lakinya? pasti ada rahasia yang sangat menarik.
"Siapa namanya, Linbu? dan apa yang terjadi pada dirinya?" Linbu Gora menggeleng pelan.
"Aku tidak terlalu mengenal adik umakmu," Linbu Gora terdiam sesaat "Kami hanya pernah bertemu 3 kali, itupun tidak bercakap-cakap secara langsung. Umakmu tidak pernah menceritakan tentang adiknya?" Dayana mendesah pelan.
"Ya...mungkin dia mempunyai alasannya sendiri..." Linbu Gora berusaha menghibur Dayana.
"Dayana, aku akan menunjukkan wilayah desa yang menjadi milikku. Dalam beberapa tahun ke depan, kerjasamaku dengan desa-desa tetangga pasti akan berkembang dan aku ingin kamu mengatur semua kerjasama itu."
"Linbu, apakah anak-anak Linbu tidak keberatan dengan keberadaanku?" Dayana tampak ragu-ragu bertanya. Linbu Gora tersenyum manis.
"Aku hanya bekerja dengan orang-orang yang aku percayai kemampuannya. Tidak semua anak-anakku cerdas dan jujur. Lagipula, kamu adalah anak sahabatku, berarti anakku juga." Linbu Gora memeluk Dayana erat-erat.
"Aku banyak berhutang budi kepada umakmu. Hanya dengan cara inilah aku bisa menebus kebaikan dia." Mulai detik itu dan seterusnya, Linbu Gora lebih mempercayai Dayana ketimbang anak kandungnya sendiri.
***
Simnap dan Demai duduk dengan sikap siaga, tidak jauh dari Dayana, yang sedang bercakap-cakap dengan Sema. Simnap lebih tua dari Demai. Walau Demai lebih cerdas dan teliti, tidak pernah sedikitpun dia menganggap remeh Simnap. Demai selalu mendengarkan apa yang dikatakan oleh Simnap. Dia akan pura-pura bertanya, untuk mengarahkan Simnap apabila dia mengatakan sesuatu yang salah. Simnap sangat membela umak Dayana, yang sudah dia anggap sebagai pengganti umaknya. Demai yang tidak terlalu suka dengan politik di dalam keluarga Dayana dan sudah curiga dengan tindak tanduk umak Dayana, selalu berjaga-jaga di dalam diamnya, agar Simnap tidak terluka karena sikapnya yang terlalu lugu. Biar bagaimanapun, lawan umak Dayana adalah istri tuan mereka juga. Siapapun pemenangnya, mereka berdua hanya orang-orang yang bekerja kepada majikan, tidak boleh terlalu diambil hati.
"Apakah umakku sudah mempercayakan kerjasama ini kepadamu?" Tanya Sema lembut. Dayana mengangguk pelan, dia khawatir menyinggung lelaki yang ada di hadapannya. Ekspresi wajah Sema yang dingin, membuat orang sulit untuk menebak apa yang ada di dalam pikirannya.
"Baiklah. Minggu depan aku akan membawamu ke Pemimpin Nama Keluarga, untuk membuat perjanjian kerjasama. Di tempat ini ada 11 nama keluarga, baru 3 orang yang mau menandatangani surat perjanjian."
"Apakah sisanya tidak suka dengan kerjasama ini?" Tanya Dayana.
"Mereka tertarik dengan rencana umakku untuk kemajuan desa ini, hanya saja, meminta tanda tangan mereka tidak mudah."
"Kenapa tidak langsung menjalankan projek ini? bukankah mereka juga tidak menolak?" Sema tersenyum.