Malamnya, Hakbo Liata dan Dahkli Sema berbincang-bincang di ruang tamu. Percakapan dimulai dengan permintaan maaf dari Hakbo kepada Dahkli Sema. Setelah itu mereka berbincang-bincang tentang masa lalu. Boani dan aku yang ingin mendengarkan percakapan Hakbo, langsung lari ke kamar saat melihat umak melotot ke arah kami. Saat Umak masuk ke dalam kamar, dia menyuruh aku dan Boani untuk berhenti bicara.
"Umak agak sedikit pusing, tolong kalian jangan bicara dulu." Sayup-sayup di dengarnya percakapan antara Hakbo dan Dahkli Sema. Aku dan Boani diam dan saling berpandangan. Salia juga diam saja, di sudut kamar sambil membaca buku pelajaran yang baru aku diberikan.
"Umak..." Bisik Boani. Umaknya menempelkan jari telunjut di bibirnya, menyuruh Boani untuk diam. Jelas sekali kalau umak kelihatan penasaran dengan percakapan di ruang tamu, tapi berusaha di tutup-tutupi. Boani berdiri dan mendekati Umak.
"Umak, bukankah hidup di dalam rasa penasaran itu tidak baik..." Umak melotot ke arah Boani yang sedang tersenyum geli melihat tingkah umaknya.
"Diam kamu, Boani. Umak sedang sakit kepala." Aku ikut mengompori umak, dengan pura-pura menempelkan telinganya ke tembok.
"Umak, aku dengar nama umak di sebut-sebut." Umak tampak panik dan secara reflek, ikut menempelkan telinganya ke tembok.
"Mereka bicara apa?" Umak berbisik dan menatapku.
"Tentang masa lalu umak..." Jawabku. Boani ikut-ikutan menempelkan telinga ke tembok.
"Iya Umak, tentang masa lalu. Sepertinya, Dahkli Sema tidak terima dengan Hakbo..." Boani menambahkan. Umak kelihatan semakin panik sekaligus penasaran. Keringat mulai memenuhi dahinya. Berkali-kali di usapnya keringat di wajah-nya.
"Sudah umak, mereka bicara tentang hal lain." Aku tidak tega, melihat umaknya tampak panik. Kadang aku dan Boani bisa kompak secara mendadak, kalau sedang usil.
"Sudahlah, umak mandi dulu, panas sekali hari ini. Oh iya, jangan lupa laporkan kepada umak, apa saja yang mereka bicarakan." Umak keluar dari kamar dan tidak lama kemudian, terdengar suara siaraman air dari kamar mandi. Boani pergi ke bawah tempat tidur, karena di sana ada lobang yang tidak terlalu besar, tempat kami biasa menguping pembicaraan orang tua di ruang tamu.
"Hakbo bilang apa?" Boani berbisik kepadaku.
"Sepertinya masih membahas Lindung." kami berdua dengan serius mengikuti percakapan di ruang tamu.
"Mereka sekarang membicarakan tentangmu, Liata." Boani berbisik.
Di ruang tamu...
"Sema, apa yang akan dilakukan Liata selanjutnya? aku rasa setelah perjuangannya di sekolah itu, pasti akan ada kelanjutannya, bukan?" Nada suara Hakbo terdengar penuh harap.
"Tentu saja ada, Yuar," Yuar adalah nama Hakbo Liata, "Tapi semua perlu di proses di kota, karena status Liata dengan Lindung berbeda di sekolah. Proses administrasi Liata lebih panjang daripada Lindung. Jangan khawatir, aku sudah mempersiapkan semuanya dengan baik."
"Aku tenang sekarang, Sema. Terima kasih banyak kamu mau menolong keluargaku." Boani mencolek lenganku sambil tersenyum lebar.
"Kita semua keluarga, tidak perlu sungkan. Liata anak yang berani, sama seperti Nala." Hakbo terdengar batuk beberapa kali dan segera Dahkli Sema mengalihkan pembicaraan.
"Hakbo cemburu..." Perkataanku di sambut tawa kecil oleh Boani. Tidak lama kemudian, terdengar suara umak di ruang tamu, yang mengajak Dahkli Sema untuk makan malam bersama.
"Salia, Liata, Boani, ayo kita makan." Aku dan Boani menarik tangan Salia yang masih tampak serius membaca bukunya.
"Ayo, dipanggil umak." Dahkli Sema dan Hakbo tampak sudah duduk di kursi makan.
"Dimana anak-anak yang lain, Tahte dan adik-adiknya?" Tanya Dahkli Sema kepada hakbo.
"Mereka sedang membantu suma-nya. Besok baru kembali. Oh ya, bagaimana kabar anak-anakmu, Sema?" Tanya Hakbo.
"Mereka sehat-sehat saja. Umakku merawat mereka dengan baik, bahkan sekarang aku sulit bertemu dengan anak-anakku." Dahkli Sema tertawa kecil, yang disambut senyum oleh Hakbo.
"Dahkli, bagaimana kabar Lindung?" Tanya Boani.
"Lindung baik-baik." Di jawab dengan singkat oleh Dahkli Sema. Kadang Dahkli Sema tidak bisa berbicara panjang lebar, kecuali kalau topiknya sangat penting, pasti akan dijelaskan dengan detail dan panjang.
***
Pagi-pagi sekali, setelah Hakbo dan saudara lelakiku pergi bekerja, aku berbincang-bincang dengan Boani dan umak di ruang makan.
"Dahkli Sema bilang, kalau proses administratif untuk Liata akan berjalan agak lama, dibandingkan dengan Lindung, umak." Boani membuka percakapan. Umak tampak tersenyum.
"Aku masih ragu umak, karena statusku di sekolah adalah setengah penuh. Apakah Dahkli Sema sedang menghibur Hakbo?" Aku menatap umak dengan perasaan ragu.
"Setahu umak, Dahkli Sema bukan orang yang seperti itu. Hanya saja, kita tidak perlu terlalu menunggu kabar dari sekolah. Sekarang, lakukan saja apa yang bisa kamu lakukan di tempat ini. Umak rasa, ilmu yang sudah kamu pelajari di sekolah itu, bisa kamu bagikan kepada teman-temanmu di desa ini."