Hujan di Ujung Waktu

Yudha Prisnanto
Chapter #1

Surat Tanpa Tulisan

Hujan turun di luar jendela kamar, mengguyur pelan atap-atap genteng dan dedaunan di halaman belakang. Langit menggantung kelabu seperti kenangan yang tak selesai. Arga Pratama duduk bersila di lantai kamarnya, memandangi sebuah kotak kayu tua yang telah mulai lapuk dimakan usia. Kotak itu bukan benda asing. Ia sudah mengenalnya sejak kecil, kotak milik Kakek Darma yang selalu diletakkan di atas lemari buku, terkunci dan tak pernah dibuka, kecuali oleh sang pemiliknya yang kini telah tiada.

Tiga tahun yang lalu, sebelum Kakek Darma meninggal dunia, ia meninggalkan warisan tak biasa serangkaian teka-teki. Bukan surat wasiat, bukan emas batangan, melainkan potongan-potongan logika yang tersembunyi dalam simbol-simbol tua, puisi usang, dan permainan kata yang membuat kepala Arga panas sekaligus tertantang.

Namun setelah teka-teki keempat yang membawanya ke Taman Proklamasi dan hampir membuatnya tersesat selama tiga jam, Arga menyerah. Ia lelah, dan saat itu dunia remaja dengan segala kebisingannya terasa lebih penting daripada bayangan-bayangan masa lalu yang dikubur dalam teka-teki.

Hari ini, dua minggu setelah pemakaman terakhir Kakek Darma, ada sesuatu dalam diri Arga yang terus memanggil, sebuah dorongan halus untuk menyelesaikan teka-teki yang telah lama ia tinggalkan. Suara samar di kepalanya tak henti berbisik, mungkin itu rasa bersalah, atau mungkin rasa penasaran yang selama ini tak pernah benar-benar padam.

Dengan nafas tertahan, Arga kembali membuka sobekan kertas lusuh yang telah menguning dan mencoba memecahkan teka-tekinya lagi. Dan lagi, ia justru dibawa kembali ke Taman Proklamasi, seolah waktu menuntunnya ke titik awal. Dari sana, ia menelusuri jalanan hingga tiba di pasar barang antik. Pandangannya tertumbuk pada sebuah toko tua yang mengundang rasa ingin tahu. Saat ia masuk dan melihat-lihat, seorang penjaga toko menghampirinya. Tanpa basa-basi, pria itu langsung menatap benda di tangannya dan bertanya, "Apa yang kamu pegang itu, Le?" Arga terkejut, belum sempat menjawab, pria itu menyodorkan secarik kertas tua, penuh lipatan, lalu memintanya pergi. Tidak kasar, tapi cukup untuk membuat udara di toko itu terasa menekan.

Arga akhirnya keluar dari pasar dan langsung kembali ke rumah. Di kamarnya, ia membuka kertas yang tadi diberikan oleh pria di toko antik. Di sana tertera sebuah teka-teki baru. Tapi berbeda dari sebelumnya, teka-teki kali ini tidak membawanya ke mana-mana. Tidak ada tempat rahasia, tidak ada petunjuk lokasi tersembunyi. Tatapannya justru berhenti pada satu benda di sudut kamar, kotak kayu tua peninggalan Kakek Darma. Ia tersenyum samar. Empat teka-teki dan empat tempat yang pernah ia pecahkan ternyata bukan sekadar permainan aneh dari kakeknya, walau tujuannya hanya untuk mengetahui kombinasi angka kunci kotak itu. Namun, perjalanan yang ia tempuh telah memberi sesuatu yang lebih, kenangan, rasa penasaran, dan sedikit keberanian.

Dengan ragu, Arga akhirnya membuka kotak kayu tersebut. Engselnya berdecit pelan, seolah ikut menahan napas. Di dalamnya, hanya ada dua benda, sebuah jam saku tua berwarna perunggu yang tak lagi berdetak, dan secarik kertas lusuh yang telah menguning, seperti telah terlalu lama menunggu untuk dibaca.

Arga mengangkat jam saku itu. Tua, berat, dan berhenti tepat di angka 08.45. Jarumnya tak bergerak, kaca penutupnya berembun, dan engselnya berderit saat dibuka. Tidak ada tulisan, tidak ada inisial, tidak ada hiasan. Hanya jam tua yang entah kenapa terasa seperti memegang jantung waktu itu sendiri.

Lalu kertas lusuh itu. Kosong. Ia membaliknya beberapa kali. Tidak ada tinta, tidak ada goresan pensil. Hanya kertas tua, tipis dan rapuh, seolah isinya telah lama terhapus oleh waktu. Tapi kenapa kakeknya menyimpannya? Kenapa menyimpan sesuatu yang kosong?

Arga memicingkan mata, lalu menggoyangkan kertas itu di bawah cahaya lampu meja belajar. Tidak ada apa-apa.

Seketika, seperti kilatan dalam kepala, ia ingat sesuatu "Tinta tak selalu tampak di mata, kadang hanya waktu yang bisa membacanya." Kalimat yang pernah ditulis sang kakek dalam teka-teki pertama, dulu.

Lihat selengkapnya