Langkahnya masih gontai saat ia menyusuri jalanan tanah yang lengket oleh lumpur dan debu. Arga memandangi sekeliling, matanya menyapu rumah-rumah kayu berdinding anyaman bambu, kios-kios kecil yang menjual tembakau, dan papan nama jalan yang hurufnya ejaan lama "Djalan Menteng 31".
Napaknya berat. Bukan karena tubuhnya, tapi karena pikirannya yang mulai menyadari hal mustahil, ia ada di masa lalu. Tepatnya sehari sebelum hari paling menentukan dalam sejarah Indonesia.
Angin membawa aroma tanah basah dan asap kayu. Langit mendung masih menggantung, seperti belum tuntas mengguyurkan hujannya. Beberapa anak kecil berlarian tanpa alas kaki, tertawa riang, tak menyadari bahwa dunia sedang berada di ambang kemerdekaan.
Arga berhenti di depan sebuah warung tua. Di dalam, radio kuno berbisik pelan laporan dari luar negeri tentang kekalahan Jepang di Perang Dunia Kedua. Seorang pria setengah baya membaca surat kabar dengan dahi mengernyit, sementara ibu-ibu tampak sibuk membungkus nasi bungkus dengan daun pisang.
Dari dalam saku jaketnya, jam saku tua itu berdetak pelan. Setiap detiknya terasa seperti gema dari sesuatu yang tak kasat mata.
Dan saat itulah kertas kosong itu kembali muncul di sakunya. Padahal sebelumnya ia meninggalkannya di kamar. Kertas itu tak lagi kosong. Tinta gelap perlahan muncul, seperti ditulis oleh tangan tak terlihat,
"Pastikan Sang Pembaca Proklamasi Tiba Tepat Waktu.
Lokasi Pegangsaan Timur 56.
Waktu 17 Agustus 1945, pukul 10.00 WIB."
Arga menatap kata-kata itu. Tangan dan dadanya dingin. Ia tahu apa artinya. Ia tahu sejarah. Ia tahu pada jam itulah Soekarno membaca teks proklamasi kemerdekaan Indonesia di depan rumahnya di Pegangsaan Timur. Tapi... bagaimana kalau ia gagal?
Seketika, seseorang menepuk bahunya dari belakang. Arga terlonjak.
"Eh, kamu ngapain bengong di sini?" suara itu berat, sedikit serak.
Arga menoleh. Seorang pemuda berdiri di depannya, membawa karung berisi selebaran. Wajahnya... sangat familiar. Matanya, alisnya, garis rahangnya. Bahkan cara berdirinya. Seolah ia sedang menatap versi tua dari dirinya sendiri.
Pemuda itu menyipitkan mata. "Kamu sakit?"
Arga menggeleng, gugup. "Aku... tersesat."
"Jelas aja. Ini bukan tempat buat pelancong," kata pemuda itu. "Namaku Raka. Kamu siapa?"
"...Arga."
Mata Raka menyipit. Ia mendekat, lalu menatap wajah Arga dengan teliti. "Kita... mirip, ya?"