Hujan di Ujung Waktu

Yudha Prisnanto
Chapter #3

Menjaga Waktu

Matahari tergelincir di langit Batavia yang muram. Di beranda rumah Pegangsaan Timur 56, gema suara kemerdekaan masih menggantung di udara. Orang-orang bertepuk tangan, bersorak, beberapa bahkan menitikkan air mata. Namun Arga hanya berdiri diam, tatapannya terpaku pada kertas yang kembali muncul di saku jaketnya dengan tulisan yang baru,

"Sejarah tak pernah diam. Temukan penyiar suara kemerdekaan sebelum frekuensinya dibungkam."

Tangan Arga gemetar. Ia tahu benar, dalam sejarah, setelah pembacaan teks proklamasi, siaran radio menjadi kunci. Tanpa suara yang menyebar, kemerdekaan hanyalah bisikan di satu kota. Tapi... bagaimana jika siaran itu dicegat? Disabotase?

Pikirannya berputar. Ia menoleh ke arah Raka, yang tengah berdiskusi serius dengan beberapa orang pejuang. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, tentang rencana, tentang siapa yang sebenarnya bisa ia percaya. Tapi sebelum suara itu sempat keluar dari mulutnya, suara lain memotong lebih dulu, suara yang cepat, nyaring, dan terlalu familiar.

"Le, waktumu belum habis. Ayo ikut!"

Arga sontak menoleh ke arah suara itu. Di bawah pohon trembesi besar yang batangnya berlumut, berdiri seseorang yang tak seharusnya ada di tempat ini.

Pak Paijo.

Masih dengan peci miring dan senyum bengkok yang khas, ia melambai pelan seperti sedang memanggil cucunya pulang dari bermain layangan, bukan memanggil seseorang di tengah medan sejarah. Di pinggangnya, jam-jam tua tergantung bergoyang satu sama lain, berdenting lirih, seolah berbisik dalam bahasa waktu yang hanya mereka berdua pahami.

"Pak... bagaimana... "

"Bukan waktunya banyak tanya. Kita harus ke Jalan Salemba. Sekarang."

Naik sepeda tua pinjaman dari seorang tukang koran, Arga dan Pak Paijo menyusuri jalan-jalan yang mulai lengang. Di kiri-kanan, rakyat masih berkumpul, bersyukur, berdoa. Tapi di tengah semangat itu, Arga bisa merasakan sesuatu yang ganjil kekacauan tersembunyi.

"Penyiar itu siapa, Pak?" tanya Arga, mengayuh cepat.

"Seorang pemuda bernama Yusuf. Dia operator utama di stasiun radio di Salemba. Teks proklamasi harus disiarkan dari sana," jawab Pak Paijo tanpa menoleh. "Tapi intel Jepang belum semuanya menyerah. Ada yang ingin menghentikan siaran itu."

"Kalau gagal disiarkan... berarti... "

"Berarti rakyat di luar Jakarta tak tahu Indonesia sudah merdeka. Bisa jadi kacau balau. Bisa jadi tidak pernah ada negara."

Angin menampar wajah Arga. Tiba-tiba jam saku di dadanya berdetak kencang lagi. Seolah waktu menjerit. Seolah ada yang sedang berubah.

Stasiun radio tua itu berada di sebuah bangunan bertingkat dua, temboknya abu-abu, dengan antena tinggi yang tampak seperti kerangka burung tua di atapnya. Dari kejauhan, Arga melihat beberapa pria bersenjata menjaga pintu masuk.

"Kita terlambat?" gumamnya.

"Belum. Tapi hampir," kata Pak Paijo. Ia membuka jaket kulitnya, menyibak bagian dalamnya yang ternyata penuh alat-alat kecil seperti obeng, kabel, dan bahkan pemancar gelombang radio mini.

Lihat selengkapnya