Langit malam Jakarta tahun 1945 menggantung pekat, nyaris tanpa cahaya. Tak ada lampu jalan, tak terdengar deru kendaraan. Hanya suara jangkrik, langkah-langkah hati-hati yang tersembunyi, dan bisikan antar pejuang yang menelusup dalam gelap.
Arga duduk di atas atap rumah kosong di kawasan Senen, ditemani Raka dan Pak Paijo. Udara dingin merambat dari genteng, tapi pikirannya jauh lebih dingin dari malam itu. Di tangannya, secarik kertas yang kembali muncul dari saku jaketnya, tulisan samar hanya tampak saat diterawang di bawah cahaya api.
"Temukan suara Morse yang hilang, ada pada peta lama dan kata-kata yang tak diucapkan."
Alis Arga berkerut. "Ini maksudnya... kantor berita?"
"Bisa jadi kantor berita Antara," jawab Raka, kali ini dengan nada lebih dalam, lebih berat. "Tapi yang dulu belum seperti sekarang. Masih diambil alih dari tangan Jepang. Aksesnya terbatas. Tapi... di sanalah mereka menyimpan salinan asli teks proklamasi."
Ia berhenti sebentar, menatap ke arah jalan yang gelap di kejauhan, seolah membayangkan kembali malam itu.
"Salinan itu penting, Ga. Sangat penting. Karena bukan teks di Pegangsaan Timur yang pertama kali didengar dunia... tapi versi yang disiarkan dari kantor berita."
Arga mengernyit. "Kalau begitu, berarti..."
"Kalau salinan itu hilang, atau lebih parah, sengaja diubah," lanjut Raka, "maka yang tercatat sebagai sejarah bisa berubah. Dunia internasional bisa saja tak pernah tahu bahwa kita menyatakan kemerdekaan. Atau... mereka tahu, tapi dengan teks yang berbeda. Dengan niat yang... bukan dari rakyat."
Arga menelan ludah. Ia mulai menyadari betapa rapuhnya sejarah.
Pak Paijo menimpali dari balik bayang-bayang, suaranya lirih tapi tajam, "Waktu bisa retak bukan karena dilompati... tapi karena disusupi."
"Siapa yang ingin mengubahnya?" tanya Arga, nyaris berbisik.
Raka menatapnya lurus, "Kelompok yang tak ingin Indonesia berdiri dengan kepala sendiri. Mereka ingin proklamasi itu terdengar jinak. Dipelintir. Seolah kita masih setengah tunduk pada kekuatan asing."
Ia menunduk sebentar, lalu menatap jam sakunya sendiri, "Bayangkan, jika satu lembar kertas bisa mengubah satu bangsa. Maka bayangkan... jika kertas itu jatuh ke tangan yang salah."
Jam saku di genggaman Arga berdetak berat, seolah ikut merasakan beban kata-kata itu. Detiknya terasa seperti ketukan palu, sejarah bisa diselamatkan... atau dihancurkan.
Pak Paijo mengangguk, menimpali sambil mengamati langit. "Dan suara Morse yang disebut di situ? Mungkin maksudnya sinyal radio yang digunakan buat mengirim proklamasi ke luar Jawa. Lewat gelombang pendek."
"Kenapa pakai Morse?" tanya Arga, masih mencoba menyusun gambaran besar di kepalanya.
"Karena itu satu-satunya cara tercepat waktu itu. Tapi masalahnya..." Pak Paijo menarik napas, "salinan teks itu... sudah dicuri."
Arga menoleh cepat. "Dicuri?! Oleh siapa?"
"Kelompok yang tak ingin Indonesia merdeka. Mereka mencoba mengirim versi palsu dari teks proklamasi. Versi yang secara politik menjilat pihak yang sedang kalah perang. Kalau berhasil disiarkan duluan, dunia akan mengira kita tidak pernah menyatakan kemerdekaan secara utuh."
Tangan Arga mencengkeram jam sakunya erat. Detaknya kini terdengar pelan dan berat, seolah menanggung beban sejarah itu sendiri. Waktu tak hanya terasa rapuh, tapi mulai terdengar seperti jantung yang kelelahan... sekarat.
Misi malam itu tak lagi samar, jelas dan genting. Mereka harus menyusup ke kantor berita, menemukan transmisi suara Morse yang asli, dan memastikan bahwa salinan teks proklamasi yang disiarkan ke dunia adalah versi yang benar, bukan manipulasi sejarah yang disusupkan oleh musuh dalam bayangan.
Namun untuk masuk ke sana, mereka membutuhkan rute rahasia. Peta biasa tak cukup. Jalur resmi telah dijaga oleh pasukan berseragam yang belum tahu perang telah berakhir.
"Peta lama? Ada satu tempat yang mungkin masih menyimpannya," kata Pak Paijo, matanya menyipit penuh siasat. "Toko buku tua di Kwitang. Dulu milik seorang Belanda yang diam-diam membantu para pemuda."