Ya Tuhan ... barangkali inilah yang disebut sakit mata sebenarnya. Saat melihat tulisan dengan tanda baca dan huruf kapital berantakan. Apa-apaan ini bahkan tulisan anak SD masih lebih unggul.
Aku memijit pangkal hidung, mencoba menghilangkan nyeri di pusat dahi sekaligus menormalkan mata. Oke, barangkali secangkir kopi bisa membantu. Ya, siapa tahu aku hanya kurang konsentrasi karena kurang asupan kafein. Apa hubungannya? Aku juga tidak tahu. Mungkin karena kebiasaan.
“Mau ke mana lo?” tanya Fika, tetangga kubikel sembari menegakkan kepala.
“Ngopi,” jawabku singkat.
“Eh, mau dong!” seru Bang Haris di ujung. Menjulurkan cangkir kopi hitam tanpa memperlihatkan batang hidung.
“Lo nambah, Bang?” Aku menilik arloji di pergelangan tangan kiri, belum ada jam sepuluh, tapi editor senior satu ini sudah mau menambah kopi. Cangkir hitam itu sudah beralih ke tanganku. Masih ada ampas kopi di dalam sana.
“DL gue minggu ini,” keluhnya. Kali ini dengan menatapku. Kacamata oversize-nya melorot hingga pertengahan hidung yang tidak mancung itu.
Aku ber-o tanpa suara, lantas bergegas menuju pantri.
Ya, inilah kami para kacung dari sebuah penerbitan berskala nasional. Sebuah penerbit yang logonya diimpikan oleh para penulis berada di sampul bukunya. Logo yang turut mempengaruhi nilai jual sebuah karya. Tentu saja semua tidak didapat dengan sekali tekan tombol macam sihir. Ada kami para editor yang harus berjuang ekstra agar sebuah tulisan lebih layak dinikmati mata. Ada tim layouter yang harus bisa menyulap tampilan buku agar menyihir para pembeli buku. Kami tim dari Lensa Publisher.
Dan ngomong-ngomong soal tulisan yang layak dinikmati, aku rasa naskah di tanganku saat ini bukan salah satunya. Ya, kami memang bertugas memperbaiki, tapi tak lantas harus semuanya, kan?
Aku meletakkan pulpen merah itu dengan kasar. Baru lima halaman yang aku baca, dan coretan merah itu lebih mengerikan dari nilai rapor anak sekolah yang tidak pernah belajar. Dari sini aku yakin jika bukan karena kafein yang kurang, tapi tulisan ini memang tidak layak terbit.
“Napa lo?” Fika menjulurkan kepala. Mungkin terganggu karena suara bantinganku.
“Sumpah ya, Fik, selama gue jadi editor baru kali ini nemu naskah ancur ini!”
Dahi Fika berkerut, “Lah, emang siapa yang ngasih?”
“Si Bos tuh tadi pagi. Tapi kayaknya salah, deh.”
“Coba aja lo tanyain!” saran gadis berambut sepangkal leher itu.
Aku menimbang sejenak, lalu ketika berkesimpulan bahwa saran Fika ada benarnya, aku memutuskan untuk ke ruangan direktur editor itu. Sembari berharap jika tim penerima naskah khilaf, sehingga meloloskan naskah amburadul ini.
Mendekap bundel kertas itu, aku mengetuk ruangan khusus itu. Lantas masuk setelah dipersilakan si empunya ruangan.
“Napa, Bun?” tanya perempuan dengan blazer merah itu setelah aku duduk, “Mau ngajakin makan siang?”
“Makan siang dari Hongkong?” serobotku cepat. “Lo apa-apaan, sih, ngasih gue naskah ginian? Mau nge-prank?” Aku meletakkan naskah itu kasar di atas meja.
“Weh, sabar, Bos!” ucapnya, “Coba jelasin dulu, Nak, ada apaan!” pintanya sok manis.
Aku tahu interaksi kami terlihat tidak wajar. Atasan yang seharusnya diperlakukan selayaknya bos justru semanis madu. Sementara aku yang notabene bawahan justru bersikap kurang ajar. Tentu saja ada alasan. Tidak mungkin, kan, aku sesantai ini jika kami tidak saling kenal?
Ya, perempuan dengan surai bergelombang sepunggung itu adalah teman semenjak kami kuliah dulu. Lantas persahabatan itu terus terjalin hingga sekarang. Hanya saja soal rezeki dia lebih beruntung dariku. Saras Adijaya, perempuan cantik dengan karier baik dan keluarga kecil yang bahagia. Siapa yang tidak akan iri?
Aku ... tidak munafik, sedikit iri. Jalan hidupnya seolah terlalu mulus di segala bidang. Sementara aku harus ngesot sana-sini. Bahkan untuk sekadar menemukan tambatan hati.
“Naskah ini, siapa yang ngelolosin, sih?” tanyaku.