Selalu membahagiakan melihat interaksi mereka. Sebuah keluarga kecil yang sempurna. Istri cantik, suami pengertian, dan anak perempuan yang lucu. Itu keluarga Saras.
“Ate Ebun, mau itut beli estlim ndak?” tanya gadis umur tiga tahun itu.
“Tante Embunnya mau kencan, Sayang.”
Aku mendelik pada Saras yang justru dibalas dengan cekikikan.
Bocah itu mengangguk-angguk, kucir dua di kepalanya bergoyang-goyang. Lucu.
Saras mendekat ke arahku, lantas berbisik, “Cantik, kan, anak gue? Lo bakal punya kalau lo nikah,” ucapnya dengan menekankan kata terakhir.
Aku hanya mengerling, enggan mendebat perempuan yang kini suaminya ada di depanku itu. Khalid, suami Saras terkenal dengan keprotektifannya, dia bahkan tidak akan membiarkan seekor nyamuk menggigit istri tercinta itu. Oke, ini lebay, tapi tingkat kebucinan seorang Khalid memang seekstrem itu. Aku tidak mau berakhir babak belur hanya karena tak sengaja mencubit Saras. Lebay lagi? Barangkali pasangan di depanku ini yang membuat otakku gesrek atau pertemuan yang akan aku lalukan beberapa menit ke depan? Mungkin.
Sebelum pamit, Saras lebih dulu memelukku. “ Gue harap kali ini berhasil. Lo tau kan, gue sayang banget sama lo?”
Alisku bertaut, kenapa seakan Saras yang cinta sama aku? Namun begitu aku tetap mengangguk dalam pelukannya.
Setelah mereka pergi dengan mobil, aku berjalan ke arah tempat parkir khusus roda dua, menjemput si hitam—matiq-ku.
Cukup lama aku memanaskan mesinnya, bukan karena memang dibutuhkan tapi karena hatiku. Aku harus berulang kali menarik napas dan membuangnya agar lebih tenang. Lantas setelah meyakinkan diri jika ini hanya perkenalan, aku mulai menjalankan si hitam.
***
Kesan pertama yang aku tangkap setelah melihat lelaki itu adalah: rapi, terorganisir, dan penuh perhitungan. Wajar saja jika dia menjadi general manajer di usia yang baru menginjak kepala tiga. Pun sangat wajar jika dia bisa membiayai pendidikan kedua adiknya.
Namanya Tirta Hadi. Lelaki dengan kemeja rapi yang bahkan masih menyisakan jejak setrikaan setelah lepas kerja begini. Pun rambut yang tersisir rapi ke belakang itu semakin mempertegas wajah tenangnya. Namun, seperti namanya, kita tidak akan pernah tahu ada apa di balik ketenangan air itu, kan?
Seperti tadi, seusai kami berkenalan, dia langsung memberikan instruksi khusus untukku.
“Panggil Mas, saja, biar lebih enak.”
Tadinya aku sempat tertegun, tidak menyangka dia akan berkata seperti itu. Tapi setelah dipikir ... tak masalah untukku, lagi pula dia memang tiga tahun di atasku.
“Sudah berapa lama jadi editor?” tanya Tirta sembari memotong bebek panggang di piringnya.