Aku benci hujan. Bukan karena percikan airnya yang menyebabkan basah, bukan juga karena dingin yang tercipta. Aku benci hujan karena tiap tetes yang jatuh ke bumi itu seolah mengandung cuplikan adegan. Kilas balik masa lalu yang entah sampai kapan akan terus terputar. Aku benci hujan karena mengingatkan tentang dia yang menyukai hujan.
Harusnya aku menghindari ini, berdiri di depan jendela memandang hujan. Harusnya. Tapi sepertinya tubuhku terlalu hafal dengan sesuatu bernama pengulangan.
Tempias air yang mengenai jendela mencipta titik-titik. Dan begitu saja, titik-titik itu seolah menyimpan beragam adegan. Bagai tayangan sebuah album, satu per satu memori itu menyeruak ke udara. Terpampang layaknya tontonan layar lebar.
Hujan, awal Januari 2009.
Entah ada berapa liter air lagi yang tersimpan di dalam awan gelap di atas sana. Sudah dua hari bumi diguyur hujan yang seperti belum menunjukkan tanda-tanda bosan. Genangan air ada di mana-mana, basah menyelimuti segala tempat.
Membuka payung bergambar Doraemon, aku melangkah menembus hujan. Melewati halaman sekolah yang masih ramai di penuhi siswa. Meski jam sekolah sudah berakhir, tapi cuaca membuat mereka memilih bertahan.
Kesiap kaget lolos dari mulutku ketika tiba-tiba sesosok lelaki bertubuh tinggi menyerobot masuk di bawah naungan payung. “Nebeng sampai depan, ya?” ucapnya sembari memberikan cengiran, seolah kami sudah saling kenal sebelumnya.
Anehnya, kepalaku tergerak ke bawah begitu saja, mengamini permintaannya. Padahal aku tidak tahu siapa cowok ini. Ya, kami memang satu sekolah, tapi kebiasaanku yang hanya duduk di kelas atau ngetem di perpustakaan membuatku tidak mengenal banyak orang. Atau mereka yang tidak mengenalku? Ah, intinya begitu. Orang-orang yang aku kenal hanya seputar teman sekelas dan penjaga perpus. Entah siapa orang di sebelahku ini.
“Samudra,” katanya setelah lima langkah kami berjalan.
“Apa?” Tinggi kami yang tidak sepadan membuatku harus mendongak, bertemu dengan manik sekelam malam.
Lelaki dengan jaket abu-abu itu menarik sudut-sudut bibir, mempertontonkan lekukan di pipi kiri. “Namaku Samudra.” Aku ber-o tanpa suara. “Nama kamu siapa?”
Aku berdehem. “Embun.”
Dia terkekeh, entah untuk apa. Detik berikutnya aku baru tahu setelah dia menjelaskan bahwa nama kami sama-sama berhubungan dengan air. Benar juga, batinku.
Untuk sebuah pertemuan pertama, Samudra termasuk orang yang mudah bergaul. Tidak seperti diriku yang sedikit pendiam jika bertemu orang baru. Apa saja dia ceritakan, mulai dari cuaca akhir-akhir ini, lalu berlanjut pada pedagang yang diuntungkan karena hujan, sampai motornya yang pernah mogok di tengah hujan.
“Tapi, aku tetap suka hujan,” katanya setelah menceritakan bahwa dia demam tinggi karena hujan waktu itu.
“Kenapa?” Tanganku sudah tidak lagi memegang gagang payung, diambil alih oleh Samudra.
“Karena ... hujan itu cinta.”
Aku mencebik, mengejek alasannya yang terlalu mengada-ada.
“Kamu tidak percaya?” belanya. “Hujan itu wujud cinta dari Yang Maha Kuasa kepada makhluknya, coba bayangkan jika tidak ada hujan?”
Dahiku mengernyit mulai memikirkan perkataannya. “Tapi bagaimana dengan hujan yang menyebabkan bencana?” tantangku.