“Tuan Muda, kenapa tidak pulang?” Intan bertanya seraya memperhatikan adiknya yang masih lelap tertidur. Dias hanya diam dan memainkan HPnya.
“Bagaimana rasanya menjadi orang kaya?” lirih Intan. “Bagaimana juga aku membayar biaya rumah sakit ini? Kelihatannya sangat mahal.”
Dias berhenti memainkan HPnya dan melirik ke arah Intan yang masih setia menatap adiknya.
“Aku akan keluar sebentar,” kata Dias dan Intan tersenyum seraya menganggukkan kepalanya.
Dias keluar dari tempat bangkar yang hanya ditutup tirai itu. Dia kemudian berjalan kebagian administrasi dan bertanya berapa biaya yang harus ditanggung oleh pihak Intan Permata.
“Total semuanya Rp 500.00,00 itu sudah termasuk biaya perawatan dan obat-obatan. Apakah mau dibayarkan sekarang?” tanya suster tersebut.
“Ah, kebetulan sekali. Saya akan membayarnya.” Dias mengeluarkan lima lembar uang Rp 100.000,00 dan memberikannya kepada suster tersebut.
Semuanya sudah selesai dan diurus. Kemudian Dias kembali ke tempatnya semula bersama Intan. Terlihat adiknya Intan sudah membuka matanya dan tertawa bersama Intan.
“Wah, Kakak! Pacar baru, ya?” goda Indah ketika melihat Dias duduk di samping Intan.
“EH? Kupikir Tuan Muda sudah pulang. Ah iya, kakak mau bayar dulu ya. Maaf Tuan Muda, boleh minta bantuannya untuk menjaga Indah sebentar. Saya akan membayar tagihan ini....”
“Tidak perlu! Semuanya sudah aku bayar. Kalau kamu mau mengembalikan berarti setiap malam kamu harus menemaniku kerja lembur.” Dias langsung meninggalkan Intan yang terdiam menatap kepergiannya.
--
“Dari mana aja kamu?” Suara tegas menyambut kedatangan Dias di rumah itu.
“Bukan urusan ayah!” Dias masuk ke kamarnya setelah mengatakan hal itu. Dia tidak mempedulikan helaan napas ayahnya yang terdengar kasar.
“Justru buat orang sepertiku itu terdengar seperti pujian.”
Sekali lagi, dia memikirkan kata Intan yang terdengar sejuk baginya. Kemudian tersenyum dan membaringkan dirinya di tempat tidur.
“Baiklah! Ayo ikut aku! Aku akan antarkan kamu!”
“Terima kasih, Tuan Muda.”
--
“Tuan Muda. Saya membuatkan susu dan roti panggang untuk sarapan,” kata salah satu juru masak di rumah tersebut. Terlihat juga CEO yang sudah menempati kursi dan membaca koran tanpa mempedulikan anaknya yang juga duduk dekatnya.
Susu dan roti tersaji di depannya. Dengan segera dia menghabiskan susu dan membawa roti di tangannya kemudian tersenyum
“Terima kasih. Susunya enak sekali.”
Setelah berucap itu, dia pergi dan semua yang mendengar itu terkejut. Tidak terkecuali CEO yang sangat terkejut dan tersenyum.
“Aku yakin dia akan berubah.”
--
Suasana kantor masih terlihat sepi. Namun, Intan sudah duduk rapi di kursinya dan mengerjakan sesuatu. Dias hanya memperhatikan dan
“Mungkin aku harus lebih dekat dengannya.”