Love Letter

Benedikta Sonia
Chapter #9

Melindungi

Intan kembali menatap Dias untuk kesekian kalinya. Kini mereka berada di toko periasan dan Dias menggandeng tangan Intan untuk melihat-lihat. Intan terpukau dengan semua periasan yang ada. Dias melepaskan kaitan tangannya dan mendekati counter.

“Cincin yang saya pesan. Apakah sudah siap?” Perempuan yang menjaga counter tersebut tersenyum dan bergerak kebelakang untuk mengambil cincin yang menjadi pesanan Dias. Sementara itu, Dias mendekati Intan yang melihat sebuah kalung dengan simbol infinite.

“Aku ingin membeli ini untuk adikku. Dia sangat menyukainya. Mbak maaf, ini harganya berapa, ya?” Seorang petugas mendekati Intan dan tersenyum.

“Untuk mbak, saya memberikan gratis. Saya akan membungkusnya ya” Intan tersenyum dan tertawa senang ketika melihat respon penjual itu. Dia tidak melihat Dias yang memberikan kode pada petugasnya bahwa dia yang akan membayar kalung itu juga. Dias kemudian tersenyum dan merangkul pundak Intan.

“Kamu suka kalungnya?”

“Um... aku suka kalung bentuk itu. Dia melambangkan kesempurnaan. Sungguh indah. Tapi kenapa dia memberikan kalung itu gratis ya. Kelihatan harganya mahal.”

Dias hanya mengangkat bahunya dan melihat ke arah counter penjualan. Ternyata cincin pesanannya sudah terlihat kotaknya. Dias kembali melihat ke arah Intan dan menggandeng tangannya.

“Ayo. Kita lihat cincinnya.” Intan terdiam mendadak dan tidak bisa membalas perkataan Dias. Dias mengambil kotak itu dan membukanya. “Kamu suka?”

Intan melihat cincin yang bertahtakan berlian kecil nan elegan tersebut hanya bisa membolakan matanya dan melihat ke arah Dias yang tersenyum menatapnya.

“Tuan Dias, ini kalungnya.” Petugas itu juga menyerahkan kalung yang tadi dipesan Intan dan katanya gratis. Padahal Dias juga akan membayar kalung itu.

“Baiklah, tolong bungkus bersama cincin ini juga ya.”

--

“Terima kasih.” Intan menundukkan kepalanya dan tersenyum. Sepanjang perjalanan, Intan terdiam hingga,

“Kita mau kemana lagi?” Intan terheran dengan arah yang bukan ke rumahnya. Mobil Dias memasuki sebuah gedung yang terlihat seperti apartemen yang mewah. Intan hanya bisa ternganga melihat tingginya gedung ini.

“Ayo kita masuk.” Dias mengajak Intan yang masih terkesima untuk masuk.

“Selamat datang Tuan Muda Dias. Ananda Indah sudah berada di kamar Tuan dengan selamat.” Perkataan petugas itu membuat Intan terkejut.

“Adik saya? Ada di sini juga?” tanya Intan.

“Benar, Nona.”

Dias langsung menarik gandengannya menuju lantai 1 kemudian berjalan menuju kamar 8. Intan hanya terdiam. Dia memencet bel dan seketika pintu terbuka kemudian menampilkan Indah yang beraut wajah senang.

“Kakak! Aku dapat kamar sendiri! Mewah pula! Terima kasih Kak Dias.”

--

“Jelaskan padaku! Apa maksud semua ini?” Intan langsung bertanya dengan nada kesal pada Dias. Dias tersenyum karena sudah tahu pasti Intan akan bertanya dengan kesal.

“Aku ingin kamu tinggal di sini. Aku ingin menjagamu dari si brengsek Hera. Dia bukan tunanganku, kami hanya berteman dahulu. Entah kenapa tadi dia bilang bahwa dia tunanganku. Lagi pula....” Dias menghentikan pembicaraannya dan bertelut di depan Intan.

“Kamu ngapain? Bangun ....” Intan terlihat bingung dengan Dias hari ini. Dias mengeluarkan kotak cincin yang tadi dan membukanya.

Lihat selengkapnya