“Markas C ada di sebuah gudang tua di pinggir kota ini. Gudang yang berisi kematian para tahanan Hera.”
Robert mengalihkan pembicaraan dari cerita itu. Dias mengerti kenapa Robert mengalihkan cerita itu. Dia mulai membahas rencana dan memberitahu semua lokasi markas.
“Hera akan takut dengan bunyi sirine polisi. Dia bisa kabur dengan mudah dan bisa juga mengelabuhi.”
Robert menatap meja ketika berbicara itu. Lama dia terdiam, kemudian kembali berbicara.
“Tuan Dias, kita butuh banyak rencana jika ingin melindungi adik dari Nona Intan. Kita juga harus melibatkan polisi yang handal dalam penyerangan jarak jauh. Kita juga harus bersiaga dan mengenal satu dengan yang lain.”
Dias mengerti dan mulai menelepon polisi untuk menanyakan rencana dengan perhitungan yang matang.
--
Pagi-pagi benar, Robert masuk ke sebuah gudang. Melirik kanan dan kiri, Robert memakai bajunya yang ada sedikit cipratan darah buatan.
“Aku akan mengelabuhi penjaga Hera. Ingat waspada! Polisi jangan bunyikan apapun terutama sirine. Datang dengan diam-diam, kita mulainya pagi.” Robert memberikan instruksi dan menatap jendela. “Jangan pedulikan aku! Mungkin aku bisa mati, tapi demi membalas kebaikkan Tuan Dias akan aku kerahkan semuanya untuk Tuan.”
Robert terdiam sejenak dan menghembuskan napasnya setelah di depan pintu gudang tersebut. Dia membuka pelan pintu gudang tersebut dan menutupnya dengan pelan.
“Laporkan! Kenapa bisa terjadi?” Suara Hera menyambut. Robert terkejut dan bersimpuh.
“Ampun, Nona. Kami lalai dalam menjalankan tugas.” Suara Robert bergetar ketakutan. Hera terdiam kemudian menyuruh Robert berdiri. Robert menurut dan kembali melanjutkan perkataannya tanpa menatap Hera. “Ini salah saya Nona, seharusnya saya melindungi Agen Zen dan tetap bersamanya. Saya juga sudah memperingatkan Agen Zen agar menghindari dulu. Tetapi, dia tidak mau mendengarkanku. Hukum saya saja. Karena saya, Agen Zen jadi tertembak mati.”
Hera yang mendengar itu langsung menahan marahnya. Robert kembali bersimpuh memohon ampun, sesekali satu dua penjaga yang melihat itu menyingkir dari situ. Dering telepon Hera berbunyi dan Hera menatap ponselnya kemudian tersenyum.
“Hai, sayangku!” Dengan semangat Hera menjawab telepon itu dan tersenyum. Dia mengabaikan Robert yang masih bersimpuh memohon ampun. Hera berjalan menjauh dan melanjutkan teleponnya.
“Sesuai rencana.” Robert berbisik pelan dan menatap Indah yang telanjang di dekat tumpukkan ban mobil itu.
“Apa yang sesuai rencana?” Salah satu penjaga mendengar dan berbisik seperti itu pada Robert yang sudah berdiri. Robert melihat itu dan tersenyum.