Love Letter

Benedikta Sonia
Chapter #18

Jalan

“Aku melihat dia! Hentikan! Dia menyiksaku! HENTIKAN!” teriakan gadis polos itu terlalu kuat. Dokter yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya. Tatapan iba dari suster dan dokter psikologi itu pada gadis yang tertidur namun gelisah seperti orang kesurupan.

“Suntik obat tidur,” bisik dokter muda tersebut. Suster yang terlihat menahan dari berbagai sudut terlihat kewalahan dalam menghadapi amukan gadis itu. Dias datang dari belakang dan terdiam melihat sang gadis yang terdiam dan pingsan itu.

“Dokter, bagaimana perkembangan Indah?” Dias bersuara amat lirih. Seakan sudah tidak ada tenaga kembali. Dokter itu berbalik dan melihat pemuda itu. Senyuman dokter muda itu seakan menyiratkan simbol yang tidak mungkin Dias mengerti.

“Ikut saya, kita bicara di ruangan saya.” Indah yang sudah terlihat tenang dalam tidurnya, saat Dias dan dokter muda itu meninggalkan ruangan tersebut. Para suster mulai tenang dan menganti perban serta mengganti cairan infus yang sudah habis itu. Dias yang sedari tadi gelisah mulai tenang ketika dokter muda itu tersenyum kembali setelah tiba di ruangannya.

“Kurasa sudah ada perkembangannya, Tuan Dias. Nona Indah sudah terbiasa dengan keadaan rumah sakit dan teman-temannya. Itu berita positifnya.” Senyuman manis dokter muda itu menyambut helaan napas lega Dias. Akan tetapi, dirinya masih berpikir, berita positif? Berarti masih ada berita negatifnya?

“Apakah ada berita negatifnya?” Dias bertanya dengan penuh kehati-hatian. Matanya mengawasi pergerakan dokter itu. Dokter muda itu mengambil kain putih yang penuh bercak darah dan meletakkannya di depan Dias. Mata Dias sempat melihat ke arah yang lain, saat kain itu diletakan di meja tersebut.

“Apa maksudnya?” Dias kembali bertanya. Pikiran Dias kalang-kabut melihat kain itu, akan tetapi dia berusaha untuk menghiraukan kembali. Dokter itu tampak diam melihat kain itu dan menatap Dias yang sedari tadi mencoba menatap kain itu dengan takut.

“Kau mau membukanya?” Dokter itu melihat ke arah Dias yang masih takut melihat kain itu. Dokter itu terdiam cukup lama sampai akhirnya tangannya membuka kain itu. Gumpalan daging yang belum sempurna terbentuk terlihat begitu saja. Mata Dias membelalak sangat lebar. Sungguh demi apapun itu, sudah cukup sampai ini saja derita yang keluarga Intan alami!

“Janin?” Dias tak percaya dengan apa yang mulutnya ucapkan kali ini. Dokter itu kembali diam dan memakai sarung tangan khusus. Dias memperhatikan dengan hati-hati. Tangan dokter itu membalik daging itu dan menemukan sebuah kertas.

Lihat selengkapnya