Love Letter

Benedikta Sonia
Chapter #19

Deo

“Ular menurutiku! Dia mengikuti gerakan kepalaku! Dia mengerti apa yang aku rasakan setelah wanita jalang itu memutuskan hubungan itu.” Deo mengulang entah keberapa kalinya setelah dia sampai dan duduk di depan penyidik kepolisian. Buz terdiam frustasi dan kepala penyidik yang membantu mulai menghela napas. Anak buahnya tampak diam menatap Deo, kemudian tersenyum.

“Okay baiklah. Apakah hanya itu? Boleh peragakan bagaimana gerakannya?” Deo menurut sesuai perintah dan menurunkan tubuhnya di lantai dan menempelkan kupingnya pada lantai. Deo terdiam dan menatap Buz dengan senyum menyeramkan.

“Mereka ingin mengancammu! Hati-hati saja ya!”

--

Buz terbangun dari mimpinya. Sekilas dia melihat Deo berdiri disudut pintu sambil tersenyum manis ke arahnya.

“Deo...” lirih Buz. Senyuman Deo semakin menyeramkan, Buz melihat gerakan mulut Deo.

“Hera ... Daehwa ...” Mulut Buz mengikuti ucapan Deo. Matanya membelalak lebar menyadari hal yang tadi dia ucapkan. Dilihatnya Deo yang perlahan hilang seperti hologram, perlahan tapi tetap menyebutkan 2 nama itu.

Mata Buz terdiam membeku mengetahui kalimat sebelum Deo benar-benar hilang.

“Mereka berhasil.”

Selembaran kertas melayang ke arah Buz yang masih di tempat tidur itu. Dia mengambil kertas yang terjatuh dekat lantai ke tempat tidurnya. Dahinya mengkerut, tidak ada tulisan sama sekali. Dia tidak berpaling dari kertas itu. Dia kemudian kembali mengingat kembali mimpinya.

--

“Maafkan aku. Aku telat datang Tuan Pramuda.” Buz berlari tergesah-gesah memasuki kantor itu. Dia langsung melewati resepsionis dan membuka ruangan Dias. Matanya terkejut melihat seseorang yang dia kenal ada di ruangan Dias.

“Deo...” lirih Buz. Matanya waspada melihat Deo. Deo tersenyum manis sambil berdiri menyambut Buz. Buz berjalan merempet tembok dan menarik Dias kebelakangnya.

What do you want?” tanya Buz tegas. Dias dibelakangnya berusaha menghalau tindakan berikutnya. Dia melihat kembali ke arah belakang dan melihat sekeliling tubuh Dias. Memutar dan memeriksa dengan cepat. Matanya berhenti pada tangan Dias.

“Sejak kapan ada noda darah ini?” Buz panik dan melihat ke arah Dias yang sedari tadi menatap Deo. Buz menghalangi tatapan Dias terhadap Deo.

“Apa yang kamu mau?” Deo tertawa dan melihat kembali ke arah Buz.

“Sedikit darah untuk tumbal. Sama seperti Hera. Gadis polos yang menjadi tumbalku dan Daehwa yang mengikutiku.”

“Bagaimana kau melakukannya?”

“Mudah saja. Berjabat tangan dan memeluknya.”

“KAU GILA!”

“Bukankah kau sudah paham?”

“Tidak puaskah hanya dua tumbal?”

“HO! Kenapa kau malah membahas masa lalu?”

“Sadarlah! Ular tidak mengikutimu jika kamu tidak mengorbankan tumbal lagi!”

“Dia ... menginginkan darah murni. Bukan darah kotor yang melukai orang lain.”

“Waktu merubahnya!”

Lihat selengkapnya