“Maafin Neng, Bu…” Suara Ratri terdengar seperti bisikan angin yang lirih, tapi cukup kuat untuk membuat hati siapa pun yang mendengarnya bergetar. Ia menundukkan kepala, kedua tangannya tergenggam erat di pangkuan. Bu Farida yang sudah berada di sampingnya menatap penuh rasa iba. Air mata yang ditahannya sejak tadi akhirnya jatuh perlahan, mengalir seperti aliran sungai kecil yang membawa beban berat.
“Seharusnya Ibu yang minta maaf, Neng…” suara Bu Farida pecah bersama isak kecil yang tertahan. “Andai Ibu tahu apa yang sebenarnya terjadi… andai Ibu lebih peka, semua ini pasti takkan sampai begini. Pastilah ibu akan mencegah agar semua ini tak terjadi.” Ia mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar, tapi air matanya terus mengalir, seakan tak mau berhenti.
Ratri mengangkat wajahnya yang penuh luka batin, matanya bertemu dengan mata Bu Farida. “Maafin Neng sudah bohong, Bu…”
“Kamu nggak bohong, Neng.” Suara Bu Farida terdengar tegas, meski ada rasa pedih di dalamnya. “Kamu cuma berusaha melindungi dirimu dari malu, dari rasa sakit yang lebih dalam. Kamu cuma menutupi aibmu, dan itu wajar, Nak. Justru Ibu yang salah. Ibu yang harusnya minta maaf. Ibu yang gagal mendidik anak lelaki Ibu untuk jadi pelindung, untuk menjaga istrinya.”