Ratri, wanita bermata senja setelah hujan yang baru saja dinikahinya sebulan lalu sedang berbaring di atas tempat tidur berseprai putih bersih ketika Yudis masuk. Matanya masih terpejam. Di sebelah kanannya, ternyata Bu Farida telah selesai menjalani pemeriksaan hingga diizinkan untuk menemani Ratri. Bu Farida langsung menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya. Di sebelah kiri Ratri adalah Ustad Suhada dan Umi Siti, orang tua Ratri sekaligus mertuanya, juga melakukan hal yang sama. Menatap Yudis, penuh kecemasan dan tanda tanya.
“Apa kata Dokter, Yudis?” Bu Farida yang penasaran dengan kondisi sang menantu, langsung bertanya kepada Yudis.
Yudis tak segera menjawab. Perlahan dia mengarahkan pandangannya ke arah Ratri. Meski, sesungguhnya dia sudah muak untuk melihatnya. Tak sudi lagi untuk bermanis wajah kepadanya. Namun, dia paham. Ada hati mertua yang mesti di jaga. Ada kesehatan sang ibunda yang mesti dipelihara.
Yudis menatap Ratri yang sedang terpejam tenang menyembunyikan keindahan matanya. Mata yang begitu indah yang begitu dikaguminya. Akan tetapi, itu dulu. Kini, semua berbeda. Sejak kabar kehamilan Ratri yang dia dapatkan dari Dokter Ariny beberapa saat lalu semua tentang Ratri hanyalah luka. Matanya yang indah bak pelangi usai hujan reda berubah bagai awan hitam yang membawa petaka. Kini, yang ada di pikiran Yudis, di balik mata yang terpejam itu tersembunyi niat busuk. Hatinya langsung menyumpahi. Yudis merasa terpedaya dengan pandangannya sendiri. Bagaimana tidak, Ratri yang dari luar nampak seperti Bidadari dengan busana dan tingkah layaknya muslimah sejati, pada kenyataannya telah hamil sebelum dia menikahinya. Sungguh perbuatan bejat dan menurut Yudis, sangatlah hina. “Kurang ajar!” gerutu Yudis.
“Kenapa Nak Yudis? Ada apa dengan si Neng?” tanya Umi Siti cemas.
“Hmmm ....” Yudis menggumam.
“Ada apa, Yudis? Cepat katakan! Jangan buat ibu penasaran,” timpal Bu Farida penuh cemas. Dadanya terlihat turun naik.
Melihat dan mendengar ibunya seperti itu, Yudis segera mengontrol emosinya. Perlahan dia mengatur napas. Kini, disertai zikir untuk lebih menenangkan hatinya. Yudis tak mungkin bisa berlama-lama membuat ibunya penasaran. Terlebih, Yudis tak ingin rasa cemas yang tiba-tiba menyerang sang ibu, kembali mengganggu kesehatannya.
“Bismillah ….” Yudis berusaha kuat mengatakan sesuatu yang tidak ingin dia katakan. Semua mata tertuju kepadanya. Menanti kata berikutnya keluar dari bibir Yudis untuk memberikan kabar tentang kondisi Ratri yang kini masih belum sadar dari pingsannya.
“Ratri hamil, Bu!” lanjut Yudis dengan pelan. Namun, cukup jelas didengar oleh semua yang ada dalam ruangan.
“Alhamdulillah ....” seru Bu Farida, Umi Siti dan Ustad Suhada hampir bersamaan. Mereka sangat bahagia mendengar kabar baik yang disampaikan Yudis. Umi Siti memeluk bahagia Ustad Suhada yang duduk di sebelahnya. Tak kalah bahagia, Bu Farida bangkit dari duduknya. Perlahan dia berjalan mendekat ke arah Yudis. Bu Farida tak mampu menyembunyikan raut wajahnya yang memancarkan rona suka cita usai mendengar kata-kata yang baru saja dia dengar dari putranya. Namun, berbeda halnya dengan Yudis. Meski dia mencoba tersenyum, tapi raut kekecewaan nampak begitu jelas tergurat di wajahnya. Hatinya begitu lara. Duka merambat disekujur raga. Remuk jiwanya bagai bejana yang dihempas kuat-kuat di atas tanah.
“Kau akan segera jadi seorang Ayah, Yudis!” seru Bu Farida sambil memeluk putra semata wayangnya.
Yudis tersenyum getir sambil membalas erat pelukan sang ibunda. Namun, pelukannya bukanlah luapan rasa bahagia, melainkan ingin melepaskan segala perih dalam dada. Umi Siti dan Ustad Suhada begitu semringah. Kabar yang dibawa Yudis telah membuat mereka nampak sangat bahagia. Bagi mereka, kabar akan hadirnya cucu pertama dalam kedua keluarga adalah berita paling manis melebihi apapun juga. Tingkah lucu dari makhluk kecil yang kelak hadir di tengah-tengah keluarga, tentu akan melengkapi kebahagian di hari tua mereka.