Yudis terus berjalan menyusuri selasar rumah sakit yang dingin dan penuh gema langkah para pengunjung. Kakinya terasa seperti mengambang, sementara jiwanya terombang-ambing di antara kenyataan dan prasangka yang menggerogoti logikanya. Baginya, selasar rumah sakit itu bukan lagi sekadar koridor menuju ruangan. Ia menjelma lorong-lorong gelap yang berujung di dunia tanpa nama, dunia yang terbentuk dari serpihan air mata para suami yang hatinya dihancurkan oleh kenyataan pahit.
Beberapa perawat yang berpapasan dengannya melirik. Namun, seketika itu pula mengalihkan pandangan kembali ketika Yudis balas menatap mereka. Mata sipitnya yang tajam, ditambah saat dia sedang memendam amarah, mampu membuat siapa saja yang bertatapan dengannya gentar. Sorot mata tajamnya, yang seperti mata elang mengawasi mangsanya, terasa membakar siapa saja yang bertemu pandang dengannya. Kemarahan yang mengendap di dalam dirinya seperti bara api yang siap berkobar, menghanguskan segala hal di sekitarnya.
Yudis menghentikan langkahnya sejenak ketika tiba di depan sebuah ruangan rawat inap. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengempaskannya pelan. Udara yang ia hembuskan seolah membawa pergi sebagian kecil beban yang menghimpit dadanya, meski jauh dari cukup untuk benar-benar melegakan. Dalam diam, ia berdoa dalam hati, menahan perih yang merongrong.
"Kuatkan aku, ya Allah... Jika aku harus menanggung semuanya sendirian, biarlah. Asalkan Ibu tetap sehat, asalkan senyumnya tak hilang." Desahannya seperti angin yang berembus perlahan, hampir tak terdengar.
Yudis tak ingin ibunya tahu kalau dia sedang gusar. Untuk saat ini, biarlah hanya dirinya sendiri yang tahu apa yang sebenarnya terjadi, meski harus menahan perih. Ia menyeka sudut matanya yang mulai basah, mencoba menyembunyikan luka yang mengendap di balik raut wajahnya. Dengan suara yang nyaris bergetar, ia mengucap salam dan membuka pintu.
Di dalam ruangan itu, Ratri, wanita bermata senja setelah hujan yang baru saja dinikahinya sebulan lalu sedang berbaring di atas tempat tidur. Matanya yang biasanya cerah, kini terpejam rapat seperti langit yang kehilangan bintangnya. Seprai putih bersih yang membalut tempat tidur itu terlihat terlalu rapi, seperti menutupi kekacauan yang sebenarnya sedang terjadi. Di sisi kanan Ratri, Bu Farida duduk dengan wajahnya yang masih pucat. Dokter yang memeriksanya sudah mengiizinkan untuk menemani menantunya itu. Bu Farida langsung menatap Yudis dengan tatapan penuh tanda tanya. Di sebelah kiri Ratri adalah Ustad Suhada dan Umi Siti, orang tua Ratri sekaligus mertuanya, juga melakukan hal yang sama. Menatap Yudis, penuh kecemasan dan tanda tanya. Keheningan yang menyelimuti ruangan seolah menambah berat suasana.
“Apa kata Dokter, Yudis?” Bu Farida yang penasaran dengan kondisi sang menantu, langsung bertanya kepada Yudis.
Yudis tak segera menjawab. Perlahan dia mengarahkan pandangannya ke arah Ratri. Meski, sesungguhnya dia sudah muak untuk melihat wajah yang dulu ia puja itu. Tak sudi lagi untuk bermanis wajah kepadanya. Di matanya, Ratri kini adalah teka-teki yang tak ingin ia pecahkan, tetapi juga tak bisa ia abaikan. Namun, Yudis tahu betul, ada hati yang harus ia jaga. Ada hati mertua yang mesti di jaga. Ada kesehatan sang ibunda yang mesti dipelihara.
“Semua baik-baik saja, Bu,” jawabnya akhirnya, dengan suara yang terasa asing bahkan bagi dirinya sendiri. Senyumnya muncul sejenak, dipaksakan demi menenangkan ibunya.
***
Yudis berdiri di sudut ruangan, menatap Ratri yang terbaring lemah dengan mata terpejam. Di balik wajahnya yang pucat, ada jejak keteduhan yang dulu memikat hatinya. Mata itu, yang dahulu laksana pelangi selepas hujan, kini menjelma mendung yang membawa petaka. Kini, yang ada di pikiran Yudis, di balik mata yang terpejam itu tersembunyi niat busuk. Baginya, Ratri adalah keindahan yang berubah menjadi rahasia gelap. Ia mengepalkan tangan, berusaha menahan gejolak dalam dada.
“Apakah ini cinta yang aku perjuangkan? Atau hanya ilusi yang memaksaku bertahan?” batinnya.
Hatinya langsung menyumpahi. Yudis merasa terpedaya dengan pandangannya sendiri. Bagaimana tidak, Ratri yang dari luar nampak seperti Bidadari dengan busana dan tingkah layaknya muslimah sejati, pada kenyataannya telah hamil sebelum dia menikahinya. Sungguh perbuatan bejat dan menurut Yudis, sangatlah hina.
"Kurang ajar," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Namun, amarah itu cukup memantul di balik tatapan kosongnya.
"Kenapa, Nak Yudis?" Suara Umi Siti memecah keheningan. Wajahnya penuh kecemasan. "Ada apa dengan si Neng?"
Yudis menarik napas panjang. Hatinya bimbang, tenggelam dalam dilema. Ia memandang ibunya yang menanti jawaban.
"Aku tidak boleh melukai hatinya. Tidak di saat seperti ini," pikirnya.
“Ada apa, Yudis? Cepat katakan! Jangan buat ibu penasaran,” timpal Bu Farida penuh cemas. Dadanya terlihat turun naik.
Melihat dan mendengar ibunya seperti itu, Yudis segera mengontrol emosinya. Perlahan dia mengatur napas. Kini, disertai zikir untuk lebih menenangkan hatinya. Yudis tak mungkin bisa berlama-lama membuat ibunya penasaran. Terlebih, Yudis tak ingin rasa cemas yang tiba-tiba menyerang sang ibu, kembali mengganggu kesehatannya.