Hujan Paling Jujur Di Matamu

Hadis Mevlana
Chapter #4

Denting Air Mata di Beranda - New

Setelah selesai mengurus semua administrasi, Yudis segera kembali lalu membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang. Detik demi detik terasa berat baginya, seolah waktu ikut menambah beban di pundaknya. Tepat pukul sebelas pagi, roda mobil meluncur pelan meninggalkan rumah sakit, menuju rumah di Jalan Cihanjuang.

Lalu lintas cukup padat pagi jelang siang itu, seperti pikirannya yang sesak oleh ribuan tanya. Sepanjang perjalanan, Yudis tenggelam dalam pergulatan batin yang tak kunjung reda. Wajahnya tegang, bibirnya rapat seolah takut kalau semua emosi yang terpendam akan meledak. Hatinya bertarung antara keinginan untuk mengungkap semuanya sekarang atau menunggu waktu yang lebih tepat. Namun, satu bayangan tak henti menghantui: wajah ibunya yang rapuh. Bagaimana kalau semua ini menjadi pemantik penyakit jantungnya?

"Ya Allah, aku lelah," gumamnya tanpa suara. Pandangannya menembus kaca depan, namun fokusnya entah di mana. "Haruskah aku memaafkannya? Atau... aku cukup diam dan pura-pura tak tahu?"

Dia terus berpikir bagaimana harus menyikapi atas semua kejadian hari ini yang begitu menyesakkan. Bagaimana dia harus menjalani hari-hari setelahnya. Sampai kapan? Ingin sekali dia menyudahi kegalauan di hatinya dengan bertanya pada Ratri saat itu juga. Memastikan langsung kepada sang istri agar semuanya terang benderang: siapa sebenarnya ayah dari janin dalam rahimnya? Namun, Yudis takut jika semua ini terbongkar, ibunya pasti sangat kaget dan penyakit jantungnya akan kambuh.

Berjuta pertanyaan mendesak isi kepala Yudis: Mengapa dia tega mendustai semua orang bahkan orangtuanya sendiri? Hatinya berusaha untuk baik-baik saja, tapi tak bisa. Dia berusaha husnuzon pada apa yang menimpanya, tapi tetap tak kuasa. Dalam benaknya, Ratri adalah wanita yang jahat. Dadanya kian terasa sesak.

“Duhai Allah, apa yang harus kulakukan,” jeritnya dalam hatinya.

Mercy hitam itu terus melaju tenang menyusuri jalan Cihanjuang yang di kiri dan kanannya ditumbuhi pohon Kiara, berdiri anggun seperti penjaga setia. Yudis melihat ke kursi belakang dari kaca spion tengah. Di kursi belakang, Ratri bersandar lemah. Meski wajahnya nampak lebih segar, tubuhnya terlihat ringkih. Bu Farida tak pernah lelap mengusap lembut kepala menantunya yang senantiasa tertutup kerudung itu. Senyum syukur selalu tersungging di bibirnya yang sudah mulai keriput. Senyum yang membuat hati Yudis terasa seperti ditusuk.

“Neng harus benar-benar menjaga kesehatan. Kalau mau apa-apa, bilang saja sama Yudis, pasti akan dipenuhi. Benarkan, Yudis?” ucap Bu Farida lembut tapi tegas. Usapan tangannya berpindah pada perut Ratri yang masih rata.

“I … iya, Bu!” Yudis sedikit gugup. Dia berusaha tersenyum.

Ratri hanya membalas dengan senyum kecil, namun matanya tak bisa membohongi kegundahan yang merayap. Dia menatap wajah suaminya dari pantulan kaca spion. Tak ada senyum di sana. Matanya menyala menyiratkan amarah. Tak ada kehangatan di sana, hanya tatapan tajam seperti api yang membara. Lagi-lagi Ratri menangkap raut wajah yang sama pada suaminya sebagaimana ketika mereka masih di rumah sakit. Ratri tak paham dengan gelagat suaminya yang berubah. Tak seperti biasanya dia mendapati Yudis dengan mimik muka bak binatang buas yang ingin memangsa hewan buruannya. Ini bukan Yudis yang dia kenal.

Ratri menggigit bibir bawahnya, menahan tangis yang hampir pecah. Dia tahu, ada sesuatu yang salah.

“Kenapa, Kang? Kenapa tak bicara padaku?” Ratri ingin bertanya, tapi keberanian itu selalu kalah oleh ketakutannya.

Sementara itu, di kepala Yudis, satu pikiran terus berputar: Apakah aku bisa bertahan? Hatinya menyimpan dendam, tapi di sudut kecil yang lain, ada cinta yang tak rela pergi. Dalam diamnya, dia mengingat kata-kata lama dari ibunya:

"Terkadang, memaafkan bukan untuk mereka yang bersalah, tapi untuk jiwa kita yang ingin lepas dari luka."

Lihat selengkapnya